ZAMAN PERTENGAHAN
ZAMAN
PERTENGAHAN
Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad Pertengahan selalu
dibahas sebagai zaman yang spesifik, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama. Filsafat zaman Pertengahan biasanya dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya.
Perkembangan pemikiran kefilsafatan
terutama filsafat Barat, bila hendak dipahami, maka pendapat semacam di
sebutkan di atas tadi hendaknya ditinjau kembali. Apa yang terungkap pada masa
Renaissana dan pada filsafat Barat abad ke-17, tidak mungkin dipahami, manakala
diabaikan permainan pendahuluan
tentang hal-hal yang tersebut yang
terjadi pada abad Pertengahan (Delfgaauw, 1992: 63).
Para filsuf Yunani yang sangat
berpengaruh pada abad Pertengahan adalah Plato dan Aristoteles. Hal ini bisa
dipahami, bahwa pengaruh Plato yaitu pada pemikiran Agustinus, sedangkan
pengaruh Aristoteles adalah pada pemikiran Thomas Aquinas.
Hasil Pemikiran Zaman Pertengahan
Filsafat Agustinus yang
diperkirakan antara tahun 354 s/d. Tahun 430 adalah filsafat di mana keadaan
dan situasi ikut berpartisipasi, sehinga merupakan bentuk Platonisme yang
sangat spesifik. Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebanaran abadi yang
disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia
mengetahui sesuatu, manusia ikut berpartisipasi dalam idea-idea tentang Tuhan,
yang mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian
dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, dan manusia
bukan yang ambil bagian yang pasif saja, melainkan diwujudkan secara aktif
dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih (Delfgaauw, 1992: 58).
Oleh sebab itu, manusia melalui
penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan.
Dalam arti tertentu keadaan ikut berpartisipasi
ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui
dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus bahwa berpikir dan
mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah ada
sebagai ada, yang bersifat pribagi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh
jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jelas emanasio yang niscaya terjadi,
seperti dikatakan oleh Plotinos.
Pemikiran filsafat Aristoteles
direnungkan secara mendalam oleh Thomas Aquinas (tahun 1125-1274), tanpa
ragu-ragu ia mengambil pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam
berfikir secara kefilsafatannya. Namun demikian pemikiran filsafat Thomas
Aquinas tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat Aristoteles. Ia
membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal
baru, sehingga filsafatnya melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomasisme.
Thomas Aquinas tentang pandangan
terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan, artinya bahwa Tuhan
menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan
dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat
dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia (keburukan). Karena segala
sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga ambil
bagian dalam kebaikan Tuhan; artinya bahwa alam material mempunyai bentuk
kebaikan sendiri. Selanjutnya bahwa penciptaan itu bukan merupakan tindakan
pada suatu saat tertentu, yang sesudah itu ciptaan tersebut untuk seterusnya
dibiarkan mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara terus menerus menghasilkan
serta memelihara ciptaan (Delfgaauw,
1992: 86-87).
Tuhan
mencipta alam semesta serta waktu adalah dari keabadian, dan gagasan penciptaan
tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta
berawal mula atau ada awal dan ada akhir, namun bagi filsafat tidak membuktikan
hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat membuktikan bahwa alam
semesta tanpa awal dan tanpa akhir.
Komentar
Posting Komentar