FILSAFAT
Filsafat Fenomenologi Husserl
Dalam
mengikhtisarkan filsafat Husserl, kita perlu selektif dan memusatkan perhatian
hanya pada pemikiran-pemikiran yang relevan dengan psikologi fenomenologi. Oleh
karena itu, uraian berikut akan mencakup anggapan-anggapan dasar fenomenologi,
karakteristik-karakteristik yang esensial dari metode fenomenologis dan konsep
intensionaitas. Pemikiran Husserl mengalami modifikasi yang sinambung.
Sejarawan gerakan fenomenologi mencatat perbedaan atara pemikiran-pemikiran
Husserl awal dengan pemikiran-pemikirannya yang terakhir, terutama yang
dijumpai dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan sesudah Husserl meninggal.
Salah satu konsep terakhir dari Husserl adalah Lebenswelt (life world, dunia
hidup, yakni dunia pengalaman sehari-hari), yang mendapat tempat khusus dalam
tulisan-tulisan para fenomenolog dan eksistensialis konteporer.
Suatu
pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya dengan refernsi pada
masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar: Apa kaitan antara
realitas objektif yang hadir diluar pemikiran dengan pemikiran yang kita miliki
tentang realitas objektif itu? Bagaimana dua dunia itu, duina pemikiran dan
dunia realitas objektif, saling berkaitan? Segenap filsafat telah berusaha
menjawab pertanyaan tersebut. Fenomenologi juga telah membuat usaha serupa.
Keberangkatannya bertolak dari afirmasi-afirmasi: Pemerikasaan filosofis tidak
bisa dimulai kecuali dari fenomena kesadaran,sebab hanya fenomena itulah yang
tersedia bagi kita, dan hanya fenomena itulah bahan yang bisa segera digunakan
oleh kita. Dan hanya fenomena itulah yang membukakan kepada kita, apa esensi
sesuatu itu. Fenomenologi juga berlandaskan pada konsep intensionalitas yang
akan diuraikan kelak. Dengan konsep intensionalitas, fenomenologi menghindari
dilemma subjek-objek yang menurut Rollo May, “mengacaukan pemikiran dan
pengetahuan Barat”, khususnya sejak Descartes. Menurut, Husserl, pendekatan
yang mungkin untukmengetahui berbagai hal (fenomena) adalah mengeksplorasi
kesadaran manusia. Jadi, fenomenologu pada prinsipnya adalah esplorasi yang
sangat sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.
Fenomena
kesadaran itu amat banyak dan beragam: benda-benda, orang-orang,
kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, ingatan-ingatan, pemikiran-pemikiran,
suasana-suasana hati (moods), perasaan-perasaan, gambaran-gambaran,
khayalan-khayalan, susunan-susunan mental, dan sebagainya. Fenomenologi
mencatat frnomena itu, dan mengeksplorasinya melalui metode khusus yang disebut
metode fenomenologis. Husserl bukan penemu atau filsuf pertama yang menggunakan
metode fenomenologis, melaikan penyempurna yang menspesifikasi kondis-kondis
dan objek-objeknya, sera mengangkat status metode fenomenologi itu sebagai
suatu prosedur filosofis yang frundamental. Metode fenomenologis menjadi kunci
bagi sistem filsafat Husserl. Memalui penggunaan metode fenomenologis, Husserl
berharap bisa memperbaharui filsafat dan, pada gilirannya, bisa membangun
filsafat ilmiah yang menyajikan basis bagi segenap ilmu pengetahuan. Langkah
pertma yang diambil Husserl ke arah pembangunan filsafat ilmiah itu adalah
menunukan kekeliruan psikologisme, yakni suatu teori yang menyebutkan bahwa
kebenaran matematika dan logia bergantung pada huku-hukum psikologis. Husserl
memandang hukum-hukum logika dan matematika bukan sebagai hokum-hukum yang
kebenarannya bergantung pada hokum-hukum psikologis atau dihasilkan dari
proses-proses psikologis, tetapi sebagi hukum-hukum yang membuktikan dirinya
sendiri benar, universal, dan abadi.
Upaya
Husserl untuk membangun ilmu rigorous membawanya pada radikalisme “filsafat”,
yaitu perjuangan untuk kembali kepada sumber, landasan awal, akar, atau
permulaan dari semua jenis dan bentuk pengetahuan atau teori yang selama ini
sudah kita ketahui dan kita anggap sebagai pengetahuan atau teori yang ‘benar’.
Ajakan ini sudah sanggat terkenal dalam duna filsafat. Husserl mengekspresikam
ajakan ini melalui Zu den sachen selbst, ‘kembali kepada benda itu sendiri’,
atau ‘kembali ke realitasnya sendiri’. Maksudnya, kembali kepada gejala pertama
dan asli, seperti yang dituju oleh semua pengetahuan, konsep, proposisi, dan
teori, atau hokum yang terdapat dalam semua filsafat dan ilmu.
Sebagai
filsafat, fenomenologi menurut Husserl member pengetahuan yang perlu dan
esensial mengenai apa yang ada. Dalam berbagai tahapan penelitiannya, Husserl
menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian,
fenomenologi bisa dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri, dan
ini disebabkan karena benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam
bentuk yang murni. Aspek fenomenologi Husserl yang berusaha menggali perngkat
hokum kesadaran manusiawi yang esensial serta kait-mengkait disebut
fenomenologi transcendental.
Metode
fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam
kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran
utama metode fenomenologis bukan lah tindakan kesadaran, melainkan objek dari
kesadaran,umpannya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau
disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang
hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang
sistematis, melalui berbagai langkah atau teknik. Spiegelberg dalam Phenomenologi
Movement (1971) merinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis.
Yang paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi,
adalah deskripsi fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi,
menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengituisi artinya
mengkonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah
menemukan berbagai unsure atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan
pertaliannya. Sedangkan menjabarkan adalah menguraikanfenomena yang telah
diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
Langkah
lainnya dari metode fenomenologis adalah Wessenschau, yang bisa diterjemahkan
menjadi ‘pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essences), ‘pengalaman
atau kognisi tentang esensi-esensi’ (experience or cognition of essences). Akan
tetapi, Spiegelberg lebih suka menerjemahkan istilah Wessenschau itu menjadi
‘pengintusian esensi-eseni’ (intuiting of essences). Istilah ‘pengintuisian’
digunakan oleh Spiegelberg untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik
yang mungkin timbul dari penggunaan istilah ‘intuisi’ pengistuisian
esensi-esensi disebut juga ‘pengintuisian eidetik’ (eidetic intuiting). Kata
‘eidetik’ berasal dari eidos yang artinya esensi, yang dipinjam Husserl dari
Plato. Fungsi pengintuisian eidetik itu
adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui
fenomena. Pencapaian esensi biasanya menyertakan survai atas sesuatu yang
memperluasnya menjadi lebih umum. Contohnya menyurvai berbagai corak bayangan
merah atau objek-objek berwarna yang mengarah pada pencapaian esensi kemerahan
atau warna. Husserl menyebutkan pencapaian esensi itu reduksi eidetic (eidetic
reduction).
Reduksi
eidetis bertujuan mengungkapkan struktur dasar (eidos) dari suatu fenomena
murni atau yang telah dimurnikan. Reduksi ini merupakan prasyarat fenomenologi
yang hendak menjadi ilmu yang rigorous sehingga melampai apa yang bersifat
aksidental atau eksistensial. Caranya adalah menunda sifat yang aksidental atau
eksistensial dari objek sehingga yang tersisa hanya pengalaman itu sendiri.
Menurut Spiegelberg jika fenomenologi hendak menjadi ilmu yang rigorus, ia
harus tidak puas dengan apa yang bersifat aksidental atau eksistensial. Apa
yang bersifat aksidental atau eksistensial adalah sesuatu yang selalu berubah,
tidak tetap, dan tidak pasti. Jika bersifat tidak pasti atau sesuatu yang
selalu berubah, fisafat tidak mungkin bersifat rigorous. Oleh karena itu dalam
reduksi eisetis, yang mesti kita lakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan
atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidentan atau eksistensal dengan ‘menunda
dalam tnda kurung ‘ sifat-sifat yang aksidental atau eksistensial dari objek.
Reduksi
fenomenologis bertujuan membendung segenap prasangka subjek mengenai objek yang
hendak dicari esensinya. Segala prasangka disimpan dalam ‘tanda kurung’ dan
akhirnya reduksi fenomenologis hanya meyodorkan kesadaran sendiri sebagai
sebuah fenomen. Tujuan reduksi fenomenologis diarahkan pada sujek sehingga yang
tersisa hanya kesadran diri. Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode
fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau
pengandaian-pengandaian. Adalah merupakan suatu keharusan dalam mengeksprosi
kesadaran itu seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan-keyakinan, dan
corak-corak berpikir yang telah menjadi kebiasaan, disingkirkan atau ‘disimpan
di dalam tanda kurung’ (bracketed), kata Husserl, meminjam konsep yang berasal
dari matematik.
Reduksi
transcendental dimaksudkan bahwa kita samapi pada subjek murni. Sumua yang
tidak ada hubungannya dengan kesadaran murni harus dikurungkan. Dua bentuk
reduksi sebelumnya dimaksudkan untuk
memperoleh esensi objek. Dengan demikian, ada pada tahap ‘kembali kepada
objek’. Namun, karena Husserl lebih tertarik pada ‘subjek’ atau pada gejala
kesadaran sendiri, ia tidak lagi bergelut dengan esensi objek, tetapi dengan
esensi subjek (kesadaran) beserta aktivitasnya. Untuk tujuan tersebut,
disusunlah sebuah prosedur reduktif lagi yang disebut reduksi
transeendental.
pengalaman
dasar tentang dunia yang bagi ilmu pengetahuan merupakan ekspresi kedua”.
Cirri-ciri
berikut ini yang menunjukan sifat psikologi fenomenologi berikut realisasinya
dengan pendekatan-pendekatan lain dalam psikologi: Metode dasarnya adalah
metode fenomenologis yang telah dikemukakan sebelunya. Metode-metode tambahan
dan teknik-teknik yang baik bagi studi tentang pengalaman manusia dan
relasainya dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, serta dengan dunia, secara
sinambung dicari dan dikembangkan, Tujuannya adalah memahami manusia dengan
segenap aspeknya, Minat utamanya terletakpada pengalaman manusia dan eksplorasi
kualitatifnya. Psikologi fenomenologi juga mempelajari tingkah laku, tetapi
menentang pembatasan yang eksklusif yang menganggap psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang hanya mempelajari tingkah laku dan pengendaliannya, Psikologi
fenomenologi menolak segenap asumsi tentang sifat-sifat kesadaran, kecuali
asumsi bahwa kesadaran itu intensional. Psikologi fenomenologi sangat menentang
konsep “tabula rasa” tentang kesadaran, pandangan yang asosianistik dan seluruh
kecenderungan reduksionis, Psikologi fenomenologi menyukai dan menekannkan
pendekatan holistic dalam mempelajari masalah-masalah psikologis.
Sumber : Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar