RUANG KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
BAB
I
PEDAHULUAN
A. Latar belakang
Kita dapat melihat bersama bahwa
dalam suatu lembaga pendidikan terdapat ruang-ruang dimana dalam ruang kelas
tersebut tidak hanya sebatas sebuah ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding
pada setiap sisinya, namun disana selain terdiri dari beberapa orang peserta
didik yang sedang menuntut ilmu dengan dipandu oleh seorang guru dalam proses
pembelajaran, terdapat pula berbagai macam sistem yang berjalan dalam ruang
kelas tersebut.
Dalam proses pembelajaran, ruang
kelas adalah salah satu komponen penting yang mendukung KBM (Proses Belajar
Mengajar). Dengan adanya ruang kelas, proses KBM dapat terlaksana dengan
efektif dibandingkan dengan KBM tanpa ruang kelas, misalnya rusaknya ruang
kelas, dan lainnya.
Kelas sebagai Sistem Sosial di sana
terdapat dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi
yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika
yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari individu-individuyang
membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang
kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi
kelompok sosial karenasekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama
akankeanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984).
Namun, banyak yang beranggapan
bahwa ruang kelas hanya sebatas sebagai tempat belajar, namun sebenarnya disana
terdapat sistem sosial serta interaksi yang lambat laun, sadar ataupun tidak,
akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter individu tersebut.
Hakikat keberadaan kelompok sosial
bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk
berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi
atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsiyang diembannya dalam
struktur pendidikan lebih terjamin.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana teori
tentang ruang kelas ?
- Apakah pengertian
sistem social ?
- Mengapa sekolah
sebagai sistem social ?
- Bagaimana ruang kelas sebagai sistem social
dalam pendekatan karakter ?
C. Tujuan
- Untuk mengetahui teori
tentang ruang kelas
- Untuk mengetahui pengertian
sistem social
- Untuk mengetahui sekolah
sebagai sistem social
- Untuk mengetahui kaitan antara
ruang kelas dengan pembentukkan karakter
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori
Ruang Kelas
1. Pendekatan
Interaktif
Pendekatan
interaksi memberikan perhatian yang khusus terhadap pengamatan pada metode
pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien.
a. Perilaku Dominatif versus integratif
Pendekatan interaksi
memerhatikan bagaimana pengaruh perilaku dominatif yang diperbandingkan dengan perilaku
integratif terhadap anak.Guru, dalam perspektif ini, dipandang memiliki
perilaku yang berbeda dalam memperlakukan murid atau peserta didik di ruang
kelas. Perilaku dominatif memosisikan guru sebagai sebagai sumber kebenaran.
Guru juga dipandang sebagai makhluk maha tahu terhadap segala sesuatu. Gurulah
sebagai tokoh penentu tentang benar salah terhadap suatu hal, misalnya sikap,
perilaku, aktivitas atau kerja.Sebaliknya, anak dianggap sebagai makhluk bodoh,
yang senantiasa perlu bimbingan dan arahan dari guru.
Studi perilaku
guru telah dilakukan oleh H.H.Anderson, namun studi tersebut, seperti yang
dikutif oleh Robinson (1986:128), tidak sampai menjelaskan tentang perilaku
seperti apa yang paling efisien dan efektif dalam mengajar di ruang kelas.
b. Gaya kepemimpinan guru
Gaya
kepemimpinan guru dapat mempengarui produktivitas anak-anak di ruang kelas.
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam tiga jenis,
yaitu autokratik, demokratik, dan laisser faire. Gaya kepemimpinan guru yang
autukratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang
bertukar pandangan/pendapat terhadap sesuatu antara guru dan murid, dan tidak
memberikan ruang ruang bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu. Selanjutnya, gaya
kepemimpinan guru yang demokratik ditandai dengan keemimpinan yang demokratis,
adanya ruang untuk bertukar pikiran/pendapat/pandangan, dan kebaikan bersama
dikontruksikan secara bersama melalui musyawarah. Adapun gaya kepemimpinan
laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan ruang
bertukar pandangan atau pendapat tidak diperlukan sebab peserta didik
dibolehkan melakukan apa saja apabila dia memandang sesuatu ini penting untuk
dilakukan.
Gaya
kepemimpinan demokratik diajukan sebagai suatu bentuk gaya yang perlu
dikembangkan disekolah. Walaupun produktifitas anak paling tinggi dibawah gaya
kepemimpinan autokratik apabila ia hadir dirang kelas. Namun bila ia tidak ada,
produktifitasnya rendah, seperti halnya anak-anak dibawah pengasuhan guru yang
berpola kepemimpinan laisser-faire.
Gaya
kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan
bertindak siswa dikemudian hari. Bagi siswa yang mengganggap apa-apa yang
diterima, diperoleh, dan dipelajari di sekolah merupakan suatu yang baik untuk
dijadikan pedoman, referensi atau ujukan dimasa akan datang, maka sikap dan
perilaku sosial budaya dan politik siswa ini, secara teoritis hipotesis akan
juga bias cermin gaya kepemimpinan gurunya ketika di masa sekolah dahulu.
Seberapa jauh bias ini, tergantung pula konteks sosialisasi lainnya , baik
primer maupun sekunder.
2. Pendekatn interpretatif
Realitas sosial
termasuk ruang kelas, dipahami sebagai kenyataan interaksional yang dipenuhi
berbagai simbol. Salah satu proses interpretiatif dipahami oleh
W.I.Thomas(1966) sebagai definisi situasi. Bagi Thomas suatu
stimulus(rangsangan) tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan(respons), tetapi
melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna
terhadap suatu stimulus yang diterima.
Jadi, ketika
suatu definisi situasi terbentuk, maka ia digunakan terus meneus digunakan,
sehingga sukar untuk mengubahnya. Dengan cara pandang demikian, maka sekali
guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang
bodoh,maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya ,
meskipun murid ini tidak lagi bodoh, misalnya.
Dengan cara
pandang definisi sosial, maka pendidikan , menurut Waller, merupakan seni
menanamkan definisi situasi yang berlaku pada kaum muda, dan yang sudah
diterima oleh golongan penyelanggara sekolah. Dengan demikian , sekolah
merupakan suatu alat yang ampuh untuk melakukan kontrol sosial.
3. Pendekatan Radikal
Salah satu teori
yang terpentingdalam pendekatan radikal adalah teori pelabelan(teori
labelling). Teori ini dikatakan radikal karena ia mempertanyakan sesuatu yang
dipandang”memang seharusnya demikian” dan memberiakan alternatif cara pandang
dalam melihat sesuatu. Teori pelabelan memiliki akar pemikiran yang sama dengan
teori definisi situasi dari W.I.Thomas yaitu perspektif interaksionisme
simbolik.
Teori pelabelan
memberikan penekanan pada signifikan label(nama,reputasi) yang diberikan pada
diri seseorang. Oleh sebab itu ,label dipandang menjadi bagian dari konsep diri
seseorang yang membawa seseorang ke arah suatu persepsi , prasangka atau
pentimpangan tertentu yang dikenakan pada dirinya.
Dalam teori ini,
korban pemberian label dilihat sebagi korban, yaitu korban penggunaan kekuasaan
yang semena-mena deri pemegang kekuasaan, suatu bentuk dari abuse of
power(penyalahgunaan kekuasaan).
Selanjutnya ,
apa konsekuensi pemberian label terhadap murid? Dampak pemberian suatu label
terhadap murid dalah persepsi, prasangka atau penyimpangan tertentu yang
dikenakan pada dirinya.Persepsi dan prasangka ini menciptakan self fulfilling
prophecy(pembenaran ramalan pribadi), yaitu suatu ramalan yang mengawali
serangkaian peristiwa, yang akhirnya membuat ramalan ini benar-benar menjadi
kenyataan, sehingga meraka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka
persepsikan dan prasangka seperti awalnya. Sementara itu, kurangnya pilihan
menyebabkan orang yang dilabel lama kelamaan memandang dirinya sendiri
sebagaimana orang lain memandangnya.
B.
Pengertian Sistem Sosial
Sistem sosial terdiri dari dua suku
kata yaitu sistem dan sosial, diamana secara etimologis sistem merupakan kata
serapan yang berasal dari bahasa Yunani systema/systematos yang berasal dari
kata synistani yang berarti menempatkan bersama dan secara terminologis sistem
dapat diartikan sebagai suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan
secara salaing ketergantungan (interdependen) dan konstan. Sedangkan kata
sosial secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu socio yang artinya
menjadikan teman dan secara terminologis sosial dapat dimengerti sebagai
sesuatu yang dihubungkan, diakitkan dengan teman, atau masyarakat. Dan sistem
sosial itu sendiri dapat dipahami sebagai saling keterkaitan yang teratur antar
individu sehingga membentuk totalitas (Damsar, 2011: 96).
Menurut Damsar (2011: 93), ruang
kelas bukan sekedar ruang fisik semata, namun ia melampaui ini, yaitu mencakup
juga ruang sosial dan budaya. Dalam ruang kelas terdapat dinamika yang terjadi
di dalamnya yang merupakan gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu
kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi serta peran yang kompleks
dalam pendidikan.
1. Struktur
Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari
kelompok yang lebihbesar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul
person-persondari latar belakang status sosial dan ekonomi yang
berbeda-beda,meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapaciri
khas struktur kelas yang memiliki kesamaan denganmasyarakat adalah sebagai
berikut.
a. Komposisi Anggota
Heterogenitas adalah aspek umum
yang hampir selalu ada dikelas manapun. Di sana, selain latar belakang
kehidupan yang berbeda-beda, juga
terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman
agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik
maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antarpersonalnya.
Seperti halnya dalam masyarakat
karena institusi pendidikanberlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa
saja yangmemenuhi syarat untuk bergabung.
b. Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status
Di dalam kelas yang majemuk itu,
terdapat suatu tata aturankelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh
wakil-wakilsiswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang
terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam
kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun
siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris,
bendahara, dan seterusnya.
Pola imitatif yang dibawa dari
lingkup luar masyarakat initersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata
aturaninstitusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingatfungsi dunia
pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk
pelestarian fungsi institusi dansegenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut.
Salah satubentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsurkelas
yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujuddari masyarakat kecil.
2. Pola Komunikasi dalam Kelas
Komunikasi menjadi elemen penting
dalam segala kegiatan dikelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi
timbalbalik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru).Selain itu,
arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuanbelajar di kelas adalah untuk
mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan. Konsekuensi
logisnya, setiapkelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang
berjalansecara lancar dan efektif dari masing-masing pihak.
Aktivitas penyampaian informasi
dari guru dijelaskan dalamberbagai paparan tentang materi pelajaran beserta
penjelasannyayang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan
yangdisampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru.
Sebaliknya siswa bisa merespon dengan
bertanya, menjawab,berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya,
manapundengan aktivitas di luar pelajaran. Namun, aspek ini tidak sesederhana
itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasi dalam keberlangsungan
kelas, sesuai dengan beberapa eksperimen tentang komunikasi kelas oleh beberapa
ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang
menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya
tahun 1958.
Model komunikasi secara terpusat
ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas
dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang
paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua,tipe kelompok ini dianggap
paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas
strukturnya, akantetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang
yangmemegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangatterpusat
(highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisiendikarenakan
tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain,komunikasi yang terbentuk
hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan
sentral akanbanyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya
akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk
belajar.
3. Iklim Sosial di Kelas
Kelas merupakan perwujudan
masyarakat heterogen kecil dimana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan
hubunganantarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yangkontinu.
Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (dikelas) dan secara
faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentukhubungan antara individu-individu di
dalam suatu kelas ataupunhubungan kelompok.
Hal terpenting adalah interelasi
yang terjadi antara gurudengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari
suasanakelas dan membentuk suatu iklim sosial. Pembentukan iklim sosial kelas
sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan
informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya
kepemimpinan dari seorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat
(sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan
penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dari perpaduan itulah terbentuk
berbagai macam iklim sosial di kelas yang merefleksikan bentuk hubungan
vertikal kelas antara guru - murid dalam kegiatan belajar di dalam kelas yang
sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupun
bersosialisasi didalamnya.
Menurut Faisal dan Yasik (1985)
terdapat enam iklim sosialyang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a. Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah
laku guru menggambarkanintegrasi antara kepribadian seorang guru sebagai
individu danperanannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selainmemberikan
kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa.Hubungan guru dengan siswa
bersifat fleksibel sehingga suasanaini dapat mempertinggi kreativitas siswa
karena mereka dapatbekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban
mental.Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan
bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnyadengan baik. Efeknya, setiap murid
biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta
dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah
yang lebih luas.
b. Iklim Mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing
mendasarkan padakemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para
siswamendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasankebutuhan
belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidakterlalu dibebani dengan
tugas-tugas yang berat dan menyulitkanmereka.
Untuk memperlancar tugas siswa,
seorang guru membuatprosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan
didalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antaraguru dan
siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa,dan penuh kesungguhan hati.
Kepercayaan dan tanggung jawabmasing-masing membuat guru memberikan
kelongggarankelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karenapara
murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c. Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik
sentral kebijakan seorangguru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa
di kelas,tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan
sosialsiswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komandomengajar
secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar
dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga
tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab
dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarangdilaksanakan karena
mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugasmereka sendiri-sendiri yang dituntut
prestasi dan keberhasilannyata.
Fungsi pimpinan sangat dominan
karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap
pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk
menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan
disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d. Iklim Persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang
terjadi antara guru dan siswasangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun
kegiatan di luaritu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial
sangatmenonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatanyang berorientasi
pada fase oriented.
Para siswa tidak dibebani dengan
tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja
semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatankeluarga
sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasidan saling menasihati.
Pendekatan guru terhadap anak didiknyasangat personal walaupun masih memerankan
diri merekasebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturanyang
digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan.
Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurangoptimal karena tidak pernah
mendapatkan kritik.
e. Iklim Tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak
memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan
agarsetiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun iatidak memberi
kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikaninisiatif tersebut secara nyata
karena tidak adanya keterbukaandan komunikasi yang efektif.
Antara siswa yang satu dengan yang
lain kurang dapatbekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai
punrendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang
prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang
semuanya bersifat sepihak dan kurangmemperhatikan kepentingan siswa.
C.
Sekolah sebagai Sistem Sosial
1. Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian Organisasi Formal
Organisasi secara umum dapat
diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan atau penempatan
orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud menempatkan hubungan
antara orang dalam kewajiban-kewajiban, hak - hak dan tanggung jawab
masing-masing. Penentuan strukturhubungan tugas dan tanggung jawab itu
dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah
tercapainyatujuan bersama.
Dengan kata lain organisasi adalah
aktivitas dalam membagibagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan,
memberiwewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab.Sebagaimana
terangkum dalam Liweri (1997) beberapa ahlimengemukakan pengertian tentang
organisasi. Victor A.Thompson, 1969 menyatakan bahwa sebuah organisasi
adalahintegrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialisyang
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.Chester I.
Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuahsistem yang memaksakan
koordinasi kerja antara dua orang ataulebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan
suatu organisasi adalahsuatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia
yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahandan
penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi danmodal, gagasan dan sumber
alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan
sistem-sistemkegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam
suatulingkungan tertentu.
Masing-masing pendapat di atas
berbeda-beda pendekatandefinitifnya, sebab hal itu disesuaikan dengan konteks
danperspektif orang yang “mendefinisikannya”. Meskipun begitu dariperspektif
yang berbeda-beda dapat kita tarik kesamaan teoritismengenai organisasi, yaitu
sebagai berikut.
1) Mempunyai tujuan tertentu dan merupakan kumpulan
berbagai macam manusia;
2) Mempunyai hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungan,
dan
7) Sangat terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
b. Sekolah sebagai Organisasi
Pada masyarakat modern kehidupan
manusia tidak pernahlepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi.
Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat
kemajuanmasyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telahmengembangkan
satu bentuk perekat hubungan yang dinamakansolidaritas organik. Jenis
solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks,
masyarakat yang telahmengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan
oleh rasaketergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peranberbeda dan
di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasasaling tergantung seperti
layaknya sistem hubungan antarbagiandalam organisme biologis.
Masyarakat modern memanfaatkan fungsi
lembaga-lembagasosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem
jaringankerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatanyang
formal, impersonal, terstruktur dan rasional. Oleh karena itudalam kehidupan
sehari-hari kita tidak bisa lepas dari organisasi.
Dalam hal pendidikan masyarakat
membutuhkan sekolah, universitas maupun institusi departemen yang mengelola
sistem pendidikan negara. Pelayanan kebutuhan konsumsi manusia telahdiambil
alih oleh produk-produk industri barang dan jasa, distribusi dengan sarana
transportasi berteknologi tinggi serta melengkapinya dengan lapangan profesi
pekerjaan yang spesifik. Masyarakat membutuhkan rumah sakit untuk melayani
penderita,“plaza” untuk perbelanjaan, bank untuk menyimpan danmengambil uang,
hotel untuk menginap, kantor pemerintah untukmelayani urusan pemerintah atau
pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan apabila seluruh masyarakat
memusatkan perhatiannya terhadap organisasi, terutama melalui tampilan peran,
tugas dan fungsi organisasi.
Untuk dunia pendidikan, kerangka
sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan menunjukkan bahwa masyarakat sangat
memerlukan kehadiran organisasi pendidikan beserta institusi sosialnyaguna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu,keberadaan sekolah sebagai
salah satu institusi pendidikan formalmerupakan keniscayaan historis dari
tingkat perkembangan pranata sosial lembaga pendidikan di zaman modern. Sekolah
sebagai inti pranata pendidikan manusia modern sudah seharusnyamenggunakan
perangkat-perangkat yang dimiliki organisasimodern.
Dari wujudnya, sekolah merupakan
organisasi yang memilikikomponen-komponennya dan memenuhi persyaratan
sebagaisebuah organisasi formal. Beberapa kriteria organisasi yangdiuraikan di
bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalamlembaga sekolah.
Pertama, seperti halnya organisasi bisnis atausebuah rumah sakit sekolah
memiliki tujuan kelembagaan yangjelas. Kedua, dalam organisasi sekolah juga
terdapat pola jaringankerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan (seperti
guru,supervisor dan adminsitrator) dalam rangka mencapai tujuanorganisasi.
Analisis organisasional
mengetengahkan bahwa sekolahmengemban fungsi sebagai lembaga yang memberi
pengetahuandan keterampilan kepada anak didik, dengan
mengkoordinasikanindividu-individu yang memiliki tugas dan peran yang
berbedabeda dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional. Gurusecara
formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajarandengan para siswanya di
kelas. Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja
mereka berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur
sekolah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam
lingkungan sekolah.
Sebagai organisasi, sekolahpun
memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda
aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah) menggunakan sebuahpola
hubungan yang bersifat legal rasional untuk menggerakkanroda organisasi. Sistem
jabatan ini dinamakan birokrasi(bureaucracy) yang berarti pengaturan atau
pemerintahan olehpejabat. Menurut Reinhard Bendix,1960 (dalam
Robinson,1981)organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut.
1) Urusan kedinasan dilaksanakan secara
berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam
suatu badanadministratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat
merupakanbagian dari suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki
sarana danprasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat
memperjualbelikanjabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan
dokumentasi tertulis.
Beberapa prinsip birokrasi tersebut
diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada masing-masing warga di sekolah.
Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur kepemimpinanbirokratis di mana
kepala sekolah menempati pucuk pimpinanformal. Apabila kita amati bersama pusat
pelayanan administrasitelah dilimpahkan pada para staf administrasi, para guru
danpejabat struktural lain melaksanakan fungsi tugasnya sesuai statusdan
wewenangnya. Murid-murid melakukan tertib kegiatan sebagai pelajar dan bahkan
sampai petugas kebersihan sekolah sekalipun juga menjadi salah satu bagian
penting dari komposisi peranfungsional yang dilembagakan oleh sekolah. Sehingga
di lingkungan sekolah tidak ada seorang individupun yang tercecerstatusnya dari
jangkauan kekuasaan organisasi.
Selain itu posisi kelembagaan
sekolah juga tidak bisa lepasdari konstruksi kekuatan sistem pendidikan makro
yang menaungi keberadaan sekolah. Baik sekolah negeri maupun swastaselalu
menjadi wilayah koordinasi lembaga dinas pendidikan di tingkat kota, provinsi
bahkan sampai kepada departemen terkait di lingkup nasional. Meskipun pengaruh
susunan kekuatan lembaga tersebut bersifat gradual di mana semakin memuncak
maka koordinasi teknis terhadap sekolah semakin menipis namun dari pengertian
tersebut dapat ditarik suatu wilayah luas yang memperlihatkan jaringan
koordinasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme organisasi besar berkapasitas
makro dan sekolah merupakan bagian-bagian kecil dari lembaga tersebut.
Terminologi sosiologi juga
mengungkapkan bahwa organisasi tidak sekadar dipandang suatu kesatuan yang
bersifat statis belaka melainkan merupakan sebuah bentuk kesatuan yang selalu
dinamis dan sifatnya tergantung pada makna yang diberikan anggota, masyarakat
luar serta para klien yang memanfaatkan jasa organisasi (Miflen, 1985).
Sebagaimana penuturan August Comte, 1844 ( dalam Sunarto, 2000) mengungkap
bahwa lingkup kajian sosiologi mencakup dua bagian besar yakni statika sosial,
yaitu suatu kajian terhadap tatanan sosialnya dan dinamika sosial, yaitu suatu
kajian terhadap perubahan dan perkembangan sosialnya.
Menurut Comte tersebut, kacamata
sosiologi melihat organisasimelalui dua aspek pandangan tersebut. Pertama,
organisasi dalamkoridor statika sosial akan melandasi pembahasan pada
aspekstruktur, tatanan peran dan fungsi-fungsi formal yang melekat didalam
organisasi. Sedangkan yang kedua yakni segi dinamika sosialnya mengamati dan mempelajari
segala bentuk hubungan dinamika para anggota, perubahan-perubahan kontruksi,
bermacam interpretasi dan persepsi para anggotanya, ataupun konflik-konflik
yang muncul. Sehingga selain memiliki struktur perananformal, sebuah organisasi
akan merangkul pula aneka ragammakna yang ditangkap berbagai macam orang.
Secara sederhana sekurang-kurangnya
ada 4 jenis sasaranorganisasi sekolah, di mana masing-masing sasaran akan
mencakup titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dariempat sasaran
tersebut akan kita dapatkan pengertian yang cukuplengkap tentang kompleksitas
organisasi sekolah.
1) Pertama,
sasaran formal. Ruang lingkup sasaran ini meliputitujuan formal dari sebuah
organisasi. Wujud dari sasaran initercantum dalam aturan-aturan tertulis, konstitusi
dan segalaketentuan formal yang melandasi orientasi organisasi. Sekolahsebagai
lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyaiorganisasi yang baik agar tujuan
pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di
dalamlingkungan sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawandan murid. Di
samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada dibawah instansi
atasan baik itu kantor dinasatau kantor wilayah departemen yang bersangkutan. Di
negara kita, kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga
ia berperan sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia
didudukkan pada tempat paling atas. Tuntutan formal organisatoris menghendaki
agar tugas - tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah
untuk mencapai tujuan dibagi secara meratadengan baik sesuai dengan kemampuan,
fungsi dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yangada
tersebut, orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, tugas guru
dan karyawan sekolah.
2) Kedua,
sasaran informal. Organisasi pada umumnya tidaksepenuhnya bekerja sesuai
ketentuan-ketentuan formal. Dalambanyak hal, mereka dimodifikasi oleh
masing-masing anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran merekatentang
organisasi. Di sekolah, seorang kepala sekolah mungkin mendapat tanggung jawab
sebagai pemimpin danpenguasa formal tertinggi. Akan tetapi penerimaan, pola
pikir dan tingkah laku kepala sekolah tersebut adalah konstruksi pemahaman
subjektifnya dalam melangsungkan hubungan dengan berbagai pihak di lingkungan
sekolahnya. Sehinggasasaran informal merupakan interpretasi dan
modifikasisasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibatlangsung
pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pulapersepsi masing-masing individu
dan menjadi tujuan kegiatanpribadi di dalam organisasi. Masing-masing siswa
tentunyamemiliki tujuan yang bervariasi dalam melangsungkan statusnya sebagai
pelajar. Mungkin ada yang berharap mendapatprestasi akademik tinggi atau
mengidamkan ijasah dan tidaksedikit pula yang sekadar menjalankan tradisi
masyarakat.Seorang guru dapat saja mengajar hanya untuk mencari gajinamun
banyak pula yang masih berpegang teguh pada loyalitas pekerjaan sebagai seorang
pendidik.
3) Ketiga,
sasaran ideologis. Sebagaimana tersirat di dalam istilahtersebut, sasaran ini
menyangkut seperangkat sistem eksternalatau sistem nilai yang diyakini bersama.
Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan,
gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi
sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan
berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka bernaung(Goodenough,
1971; Spradley, 1972; Geertz, 1973) dalam Sairin(2002) merupakan penjabaran
dari dari pengaruh ideologis terhadap organisasi. Sasaran ini menyoroti
pengaruh interaktifkultur-ideologis yang dianut oleh sebagian besar
manusiadalam menangkap, menyikapi dan merespon eksistensi organisasi.
Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi untukmeraih prestasi vertikal,
sementara sekolah merupakan wadahyang cukup strategis bagi manusia untuk
menopang ambisimobilitas vertikalnya. Maka bisa diasumsikan hampir
sebagianbesar warga sekolah maupun masyarakat akan mengarahkankeyakinan
kultural tersebut dalam memaknai keberadaansekolah.
4) Keempat,
sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan
menonjol pada suatu proses aktivitasorganisasi yang tengah mempertahankan
eksistensinya dalamsituasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran
disekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luasperan para guru atau
organisasi ruang sekolah, termasuk rasioguru terhadap siswa beserta kelas-kelas
yang terspesialisasi.Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam
menganggur.
Keempat sasaran atau pandangan
organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang berbeda dari
pandanganumum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan
sekadartumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur
kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme tersebutmengalami dinamika
aktualisasi melalui aneka ragam penafsiranpara anggota yang melatarbelakangi
perilaku manusia dalammengemban peran dan status yang berbeda-beda di dalam
organisasi sekolah.
2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
a. Pengertian Sistem
Banyak pendapat tentang pegertian
sistim. Namun secaraumum pengertian sistem adalah sekelompok bagian-bagian
yangbekerja sama secara keseluruhan berdasarkan suatu tujuan bersama. Di dalam
sistem masing-masing unsur saling berkaitan,saling bergantung dan saling
berinteraksi atau suatu kesatuanusaha yang terdiri atas bagian-bagian yang
berkaitan satu denganyang lainnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam
lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut selaras denganpendapat Johnson,
Kast dan Rosenwig,1973 sebagaimana dikutipoleh Soenarya (2000) menyatakan bahwa
sistem adalah suatutatanan yang kompleks dan menyeluruh. Dengan kata lain,
satukesatuan dari sesuatu sehingga merupakan kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan
Middleton dan Wedemeyer,1985 memandang sistem sebagai kumpulan dari berbagai
bagian (unsur) yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu
keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan, di mana hasil keseluruhan lebih
berarti dari pada hasil sejumlah bagian (Soenarya, 2000: 12).
Bachtiar (1985) mengemukakan bahwa
sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan lainnya
sedemikianrupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya berusahamencapai
tujuan tertentu. Pada bagian yang sama, Bachtiarmenambahkan bawa sistem adalah
seperangkat ide atau gagasan,asas, metode dan prosedur yang disajikan sebagai
suatu tatananyang teratur. Cleland dan King (1988) menyatakan bahwa
sistemadalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling berkaitan dansaling
bergantungan sehingga membentuk suatu keseluruhanyang terpadu. Adapun menurut
Poerwodarminto dalam KamusBesar Bahasa Indonesia (1988: 849) menyebutkan bahwa
sistemadalah (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitansehingga
membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur daripandangan, teori, asas
dan sebagainya, dan (3) metode.Mendasarkan pendapat diatas, sesuatu dapat
dinamakansistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan interdependensibaik
internal maupun eksternal antarsubsistem. Interaksi, interelasi, dan
interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi, interelasi, dan
interdependensi itu terjadi antarsistem,hubungan itu disebut hubungan
eksternal.
Bila hubungan antarsubsistem atau
antarkomponen di manahubungan itu terjadi dengan sendirinya dan tergantung
darisubsistem atau komponen lain, hubungan itu disebut hubungandetermenistik.
Sebaliknya, bila hubungan itu tidak pasti bahwa sesuatu itu dapat berfungsi,
maka suatu komponen tidak perlu bergantung pada suatu komponen yang lain. Bola
lampu mempunyai akibat deterministik terhadap penerangan karena tanpabola lampu
dengan berbagai jenis dan bentuknya akan mengakibatkan kegelapan. Namun terang
dan gelap lampu tidak adahubungannnya dengan kipas angin. Hubungan yang demikian
itudisebut nondeterministik.
Apabila terdapat pengaruh yang
menunjang, memperkuat,mempercepat fungsi perubahan atau pertumbuhan suatu
sistematau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh yangmenghambat
atau mencegah, maka hubungan itu disebut disfungsional.
Lingkungan merupakan batas antara
suatu sistem dengansistem lainnya. Makin terbuka suatu sistem, makin
perilakunyaterpengaruh oleh lingkungan. Lingkungan suatu sistem merupakan
pembeda antara suatu sistem dengan sistem yang lain.
Lingkungan dapat merupakan sumber
yang memberikan kesempatan kepada suatu sistem untuk berkembang dalam
mencapaifungsi dan tujuannya, atau sebaliknya dapat pula merupakanpenghambat.
b. Sistem Sosial
Salah satu pendekatan di dalam
sosiologi yang menggalikonsep sistem sosial adalah pendekatan fungsional
struktural.Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat,sebagai suatu
sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatubentuk equilibrium.
Fungsional struktural memandang masyarakatseperti layaknya organisme biologis
yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan
integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga.
Menurut Nasikun (1984) pendekatan
fungsional strukturalsebagaimana telah dikembangkan oleh Parson dan para
pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah asumsi dasar sebagaiberikut.
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem di
mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang saling berhubunganantara satu sama
lain;
2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi
antarbagian tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi sosial sulit mencapai
kesempurnaan,namun secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak kearah
equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari
luar dengan kecenderunganmemelihara agar perubahan yang terjadi di dalam
sistembeserta akibatnya dapat diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi, namun dalamjangka panjang keadaan
tersebut akan berakhir pula melaluipenyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi.Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial secara
sempurnatidak pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akansenantiasa
berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul
melaluitiga macam kemungkinan yaitu (1) penyesuaian-penyesuaianyang dilakukan
oleh sistem sosial itu terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar
(extra system change), (2)pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural
danfungsional, dan (3) serta penemuan-penemuan baru olehanggota-anggota
masyarakat; dan
6) Faktor penting yang memiliki kekuatan
mengintegrasikansistem sosial adalah konsensus antaranggota masyarakat tentang
nilai-nilai tertentu. Setiap masyarakat, menurut pandangan fungsional
struktural selalu memiliki tujuan-tujuandan prinsip-prinsip dasar tertentu yang
mendapat keyakinankuat dari sebagian besar anggota masyarakat dan
dipercayamemiliki kebenaran mutlak. Sistem nilai tersebut bukansekadar sumber
kekuatan yang menyebabkan integrasi sosial,namun sekaligus merupakan unsur yang
menstabilkan sistemsosial budaya tersebut.
Dari beberapa asumsi di atas dapat
disimpulkan bahwasebuah sistem sosial merupakan sistem dari
tindakan-tindakanmanusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi
antarberbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standarpenilaian umum
serta mendapat kesepakatan bersama dari paraanggota masyarakat. Yang paling
penting dari berbagai standarpenilaian umum adalah apa yang disebut sebagai
norma-normasosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk
struktur sosial.Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat
tersebutdapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-normasosial
menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapatdan kepentingan-kepentingan
pribadi mereka, proses inimemungkinkan bagi mereka untuk menemukan
keselarasanantarsatu sama lain sehingga pada proses selanjutnya menghasilkan
suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi tersebut, equilibrium terpelihara
oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Duamacam mekanisme sosial yang
mengendalikan hasrat-hasrat paraanggota demi terpeliharanya kontinuitas sistem
sosial, adalahmekanisme sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari anggapan-anggapan di atas
itulah para penganut fungsional struktural menganggap bahwa disfungsi,
ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial yang mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan masyarakat sehingga memunculkan terjadinya
diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah akibat dari pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar.
Namun anggapan-anggapan tersebut
memiliki beberapakelemahan yang melekat. Kelemahan tersebut terletak pada bahwa
pendekatan fungsional struktural mengabaikan beberapakenyataan, antara lain:
1) Setiap struktur sosial selalu mengandung konflik
dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, lalu pada gilirannyajustru
menjadi sumber terjadinya perubahan sosial;
2) Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap
perubahan-perubahanyang datang dari luar (extra systeme change) tidak selalu
bersifatadjustive;
3) Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu
dapat jugamengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara
gradual melaluipenyesuaian-penyesuaian lunak, akan tetapi juga terjadi
secararevolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari beberapa asumsi tersebut telah
jelas bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menekankan asumsi dasarnya
pada peranan unsur-unsur normatif dalam menelaah tingkah laku sosial, khususnya
proses-proses yang paling mikro di tingkatindividu. Pandangan tersebut
menegaskan bahwa setiap individumerupakan kontributor teknis yang melembagakan
tegaknyanorma-norma sosial demi menjamin stabilitas sosial.
Pendekatan tersebut telah melupakan
hakikat dualistis yangselalu terkandung dalam realitas hidup. Salah satunya
realitassosial bahwa selain kemapanan empiris yang mencerminkantertibnya
tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan perlahan-lahan menjadi
potensi konflik yang bersifat laten. Dalamkonteks sosialnya, istilah tersebut
dinamakan sub-stratum, yaknidisposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya
perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Oleh karena itulah, maka pendekatan
fungsional strukturaldipandang kurang lengkap dalam menelaah hakikat sistem
sosial.Beberapa ahli yang lalu mengkritisi teori fungsional struktural
menambahkan analisisnya untuk memperlengkap kajiansosiologi tentang sistem
sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan pendekatan konflik.
Pendekatan tersebut memperhatikan kekurangan-kekurangan yang melekat di dalam
fungsional struktural lalu mencoba menemukan formulasi teoretisyang lebih
representatif. Beberapa asumsi yang dimiliki olehpendekatan konflik tersebut
antara lain yaitu,
1) Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses
perubahanyang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain, perubahansosial
merupakan gejolak yang melekat dalam setiap masyarakat;
2) Setiap masyarakat selalu mengandung
konflik-konflik yang terselubung, atau dengan kata lain konflik adalah gejala
yangniscaya ada di masyarakat manapun;
3) Setiap unsur dalam suatu masyarakat selalu
memberikansumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahansosial; dan
4) Setiap masyarakat terintegrasi di bawah kekuatan
ataudominasi golongan tertentu yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar
masyarakat (Nasikun, 1984: 16-17).
Perubahan sosial oleh para penganut
pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat pada
kehidupan masyarakat, namun lebih dari itu merupakan sumber yang berasal dari
faktor-faktor internal di dalam sebuah masyarakat. Perubahan sosial muncul
disebabkan oleh pertentangan unsur-unsursosial. Kontradiksi internal tersebut
bersumber pada tegaknyasistem struktur yang tidak merata dalam level kekuasaan.
Kenyataan ini menjadi faktor munculnya dua entitas kepentingan yangsenantiasa
bertentangan yakni, pengemban otoritas dan mereka-mereka yang dikuasai.
Dari pendekatan konflik dapat disadari
satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa dilupakan, yaitu dengan perbedaan
serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar menjadi sarana penyokong integrasi
maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga memilikiperan kontroversial yang
memicu merebaknya disintegrasi sosial.Kenyataan ini mendorong terciptanya
akomodasi kepentinganyang mampu merombak tatanan sosial untuk menjadi
lebihrepresentatif dan berdaya guna bagi masyarakat.
c. Sistem Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem sosial, sekolah
merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi
dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001)
menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia
sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu
masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan
norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya.
Sesuai dengan pendekatan fungsional
struktural, lembagasekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki
kekuatanorganis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya.Bagian-bagian
tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungansistem kendali sosial berwujud
organisasi formal. Pedoman formalmerupakan rujukan fundamental dari seluruh
latar belakang sikapdan perilaku para pengemban status dan peran di
sekolah.Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolahpada
hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yangberbeda-beda, dimana
masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal
struktural yang menggerakkandaya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu
saja sistemsosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembagaformal.
Keberadaan guru, siswa, kepala
sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas,
administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara
aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah
sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini fungsional strukural
melandasi pandangan kita untuk melihatberbagai peran dan status formal di
sekolah sebagai satu-satunyapedoman mendasar atas segala aktivitas yang
dilakukan olehwarganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi
norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnyasehingga menyokong terbinanya
stabilitas sosial dalam sekolah.
Manifestasi peran mendasar
norma-norma sekolah telah mengikatwarganya dalam nuansa integritas kesadaran
yang tinggi.Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porsipenilaian subjektif
para pelaku peran di sekolah dan konsekuensiobjektif atas wujud sekolah sebagai
lembaga yang memeliharasistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain
dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat
individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat
bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial
yang bersifat normatif sertasubstratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya
sistem nilainormatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah
bukanberarti melenyapkan potensi-potensi konflik. Oleh sebab itu,stabilitas
sosial yang dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala
sekolah, pejabat struktural sekolah,pengawas sekolah, murid, administratur
sekolah, orang tua siswa,petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk
pengaturan manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnyasaling
bertentangan.
Secara lebih radikal beberapa
penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk
di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu bersumber dari paksaan
secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas
sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran
seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya
banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa.
Di dalam sekolah, seorang kepala
sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai pemimpin sekolah ternyata juga
mengindikasikan pertentangan kepentingan dan otonomi status lain yang lebih
rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi dan sebagainya. Terhadap
guru, ketika seorang kepala sekolahmenjalankan fungsi formalnya, maka ada titik
pertentangan yangmenggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola
belajarmengajar. Di satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasildalam
belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien sertamampu mencapai
target penguasaan materi yang banyak. Di sisilain, harapan yang melambangkan kepentingan
status kepalasekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus
otonomikedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan Yasik (1985) menyatakan
bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi dasar yang muncul pada
lembaga sekolah. Sebuah lembaga yang memiliki tujuan tertentu danmemelihara
banyak status yang berbeda serta memiliki peranfungsional. Aneka ragam status
tersebut dikelola melalui fungsi-fungsi otoritas legal formal dengan
memanfaatkan prinsip-prinsipbirokrasi. Dua asumsi tersebut yakni:
1) Potensi konflik dalam mengintegrasikan pemahaman
satutujuan sekolah kepada para pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu
tujuan pendidikan, masing-masing pengemban posisi akan memiliki daya tangkap
sektoral yang berbeda-beda dalam mengartikan hasil maupun proses
pencapaiantujuan.
2) Sulitnya meraih kesamaan
persepsi mengenai batas peran danposisi pendidikan. Sebagai dampaknya, keadaan
tersebutmemicu konflik internal lintas posisi. Yang dimaksud konflikperanan
internal adalah konflik harapan antarpihak daripemegang posisi peran di
sekolah. Para guru dihadapkandengan harapan yang saling bertentangan dengan
kepalasekolahnya, penilik, petugas konseling, administratur pendidikan, orang
tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri.
Dari dua pendekatan utama di atas
(fungsional struktural dankonflik) dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah
bukanlahsekadar kumpulan yang terdiri dari para pelaksana administrasi,guru dan
murid dengan segala sifat dan pembawaan merekamasing-masing (Horton dan Hunt,
1999: 333). Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di
dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik,
akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah.
Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalumengandung unsur-unsur dan
proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat
umum .
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep
sosial didalam sekolah yakni sebagai berikut.
1) Kedudukan dalam Sekolah
Sekolah, seperti sistem sosial
lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam lingkungannya.
Setiap orang didalam sekolah memiliki persepsi dan ekspektasi sosial
terhadapkedudukan atau status yang melekat pada diri warga sekolah. Disana kita
memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah,guru-guru, staf
administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan ideal
antarbermacam kedudukan tersebut. Halini selaras dengan pendapat Weber (dalam
Robinson, 1981)tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang memiliki
idealtype untuk mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang sebuah
realitas. Realitas sosial yang tersebar dalam statussosial menjadi titik tolak
kesadaran seorang individu untukmenentukan sikap, pandangan dan tindakan dalam
lingkup sosialtertentu. Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan kesadaranawal
yang mempengaruhi sikap individu seorang pejabat kepalasekolah. Meskipun pada
proses selanjutnya harus terkombinasidengan pembawaan individu, prasangka
terhadap status lain,hubungan-hubungan antarstatus serta kaitannya dengan
konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam mempelajari struktur sosial
sekolah kita analisisberbagai anggota menurut kedudukannya dalam sistem
persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun berdasarkansistem
klasifikasi sosial di antaranya adalah :
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan
mengidentifikasi pelakunya pada perbedaan seks atau kelamin bu guru, pak guru,
murid putri, siswa lelaki, pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara
sosial kedudukan berdasarkan seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas
dasar perbedaan fisik.Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural
darimasyarakat yang lebih luas, dimana perbedaan kelamin masihmengkisahkan
pembagian kerja, hak, serta ruang gerak yangberbeda pula. Namun secara
struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan
ketentuanformal sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja
memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun
wakasek laki-laki.
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga,
misalnya kepala sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain
sebagainya. Kategori kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal
yang melembagakan serangkaian perandan pemetaan kewenangan struktural
berdasarkan pembagianwilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai
denganformasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisimenggambarkan
tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat.Posisi teratas menggambarkan puncak
pengakuan otoritastertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada
posisi-posisi di bawahnya.
c) Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap
kategorisosial ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembagapendidikan.
Berangkat dari pengertian tentang pengajaransebagai sumber dari keberadaan
sekolah dan segala aktivitaskelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak
lepasdari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisaditangkap
indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolahuntuk mengutamakan sistem nilai
berdasarkan usia. Merekayang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan,
sumbernilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi danlain sebagainya.
Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali
melekat dalam orientasi wargasekolah.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah.
Pada dasarnya tiap-tiap status di sekolah akan membentuk wilayah-wilayah
sektoral sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan. Dikelas jenis status yang
paling dominan berperan adalah statusguru dan murid. Sementara di wilayah
birokrasi akan memperlihatkan kontak sosial antara pengurus administrasi
baikitu kepala bagian, sekretaris, bendahara sekolah serta staf-stafnya. Di
tingkat pelayanan administrasi akan melibatkanpegawai administrasi dengan para
siswa, guru-guru dan lainsebagainya.
2) Interaksi di Sekolah
Menurut Horton dan Hunt (1999) sistem interaksi di
sekolahdapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif yang berbeda,yakni:
a) Hubungan antara warga sekolah dengan masyarakat
luar
b) Hubungan di internal sekolah lintas kedudukan dan
peranannya.
c) Hubungan antarindividu pengemban status atau
kedudukanyang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan
interaktif antara orangdalam dengan orang luar mencerminkan keberadaan
sekolahsebagai bagian masyarakat. Para guru, murid dan seluruh wargadi sekolah
juga pengemban status-status lain di masyarakat.Sehingga interaksi di sekolah
merupakan kombinasi berbagai nilaidari masyarakat yang dibawa oleh para warga
sekolah. Para guru,kepala sekolah, murid-murid juga bagian dari masyarakat
mereka.Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah, sebagai hasildari hubungan
dengan tetangga, teman, gereja, partai politik danberbagai ragam kelompok
kepentingan.
Sementara secara formal, sekolah
memiliki pihak-pihak yangbertanggung jawab mengadakan hubungan antara
masyarakatdengan pihak sekolah. Dalam hal ini, pihak yang paling berkepentingan
mengadakan hubungan dengan masyarakat adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah
bertanggung jawab menjaminkualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sementara di tingkat internal pengawas sekolah
juga berkewajiban memberikan perlindungan atas orientasimasyarakat sekolah dari
tuntutan-tuntutan luar yang kurangmasuk akal. Sebagai pengamat atau evaluator
pengawas sekolahjuga memiliki tugas memelihara keharmonisan hubungan
antarakelompok-kelompok yang berbeda di sekolah.
Hubungan antarstatus juga
seringkali menimbulkan konflikantarperan. Di dalam sekolah, tanggung jawab
penjaga sekolah menyangkut kebersihan bertentangan dengan keinginan warga
sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah semaksimal mungkin. Kebebasan
profesional guru juga bertentangan dengan kepentingan pengawas sekolah dalam
menciptakan kelancaran pengajaran di tiap-tiap kelas. Keinginan kepala sekolah
untuk menerapkan inovasi baru harus berhadapan dengan keengganan gurudan murid
untuk menerima perubahan. Salah satu konflik yang cukup krusial saat ini adalah
konflik keinginan pengawas sekolah untuk mencapai hasil pengajaran yang terbaik
sesuai dengan anggaran biaya yang tersedia berhadapan dengan tuntutan
organisasi persatuan guru untuk memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji yang
memadai.
Namun selain menimbulkan konflik,
hubungan antarstatusmerupakan bagian dari orientasi lembaga sekolah. Secara
fungsional untuk mencapai tujuan yang diharapkan sekolah membutuhkan peran dan
kiprah dari berbagai status dan kedudukan.Sehingga kerja timbal balik
antarstatus diprioritaskan untukmelancarkan proses pencapaian tujuan
organisasi. Sekolahmembutuhkan hubungan yang harmonis antarguru dan muridagar
tujuan pengajaran di kelas dapat tercapai secara maksimal.Sekolah membutuhkan
kerja sama antarberbagai pihak agar rodaorganisasi dapat berjalan dengan
lancar.
Hubungan antarindividu atau
kelompok dalam jenis statusyang sama juga tidak lepas dari bagian interaksi di
sekolah. Paraguru selain memiliki persamaan peran sesuai statusnya
jugamenggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-beda. Halini sesuai
dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalamanindividu dalam melancarkan
aktivitas di sekolah. Kita ketahuibersama untuk status siswa pun juga telah
terbentuk aneka ragamkarakter dan perilaku individu maupun kelompok yang
berbedabeda.
3) Klik Antar Siswa
Pengelompokan atau pembentukan klik
mudah terjadi disekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih
menjalinpersahabatan sehingga dalam keseharian telah terikat pada kehidupan
bersama baik di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling merasakan apa yang
dialami salah satu anggota kelompoknya dan mampu mengungkap perasaan yang
selama ini tersembunyi, seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan
jenis kelamin lain serta kesulitan pribadi-pribadi lainnya.
Keanggotaan klik bersifat sukarela
dan tak formal. Seorangditerima atau ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun
kliktidak mempunyai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yangdijadikan
dasar untuk menerima anggota baru.Anggota klik merasa diri bersatu dan merasa
diri kuat, penuhdengan kepercayaan berkat rasa persatuan dan kekompakan.
Mereka mengutamakan kepentingan
kelompok di atas kepentingan individual dan sikap ini dapat menimbulkan
konflikdengan orang tua, sekolah, dan klik-klik lainnya. Bila klik inimempunyai
sikap anti sosial maka klik itu dapat menjadi “geng”.Orang luar, khususnya
orang tua dan guru sering tidak dapatmemahami makna klik bagi
anggota-anggotanya. Akibatnya mereka justru makin kompak dengan kelompoknya
sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-sama membebaskan diri dari kekuasaan
dan pengawasan orang tua, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dari kelompoknya
seorang anggota yakinmendapat bantuan penuh namun sebaliknya harus
mampumenunjukkan loyalitas yang tinggi pada kelompok. Mereka yangtidak patuh
akan mendapat klaim sebagai pengkhianat.
Faktor yang paling penting dalam
pembentukan klik adalahusia atau tingkat kelas. Suatu klik jarang beranggotakan
anak yangberusia dua tahun lebih. Selain itu klik biasanya beranggotakanmurid
dari jenis kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukkan pembentukan klik
berdasarkan prestasi akademis atauintelegensi. Menurut pengamatan suatu klik
merupakan kelompok minat atau kegemaran yang serupa, misalnya musik, olahraga
dan sebagainya.
Klik juga menggambarkan struktur
sosial masyarakatnya.Klik menunjukkan stratifikasi sosial yang terdapat dalam
masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid pada umumnyamemilih teman
dari golongan anak yang secara sosial ekonomimemiliki kedudukan sama.
Klik-klik yang muncul di sekolah
beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada kemungkinan
terbentuknyakelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu daerahatau
karena mereka merupakan mioritas. Ada kelompok “elite”yang terdiri atas
anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasiakademis tinggi dan kepribadian
tinggi. Adapula kelompokrendahan, yang berasal dari keluarga tidak
berpendidikan.
D.
Teori Tentang Pembentukan Karakter
Menurut bahasa, karakter adalah
tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah
sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.
Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui,
maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk
kondisi-kondisi tertentu.
Proses pembentukan karakter
berkaitan langsung dengan tahapan perkembangannya. Tahapan tersebut terbagi
dalam tiga tahapan yaitu tahapan karakter lahiriyah (karakter anak-anak),
tahapan karakter berkesadaran (karakter remaja) dan tahapan kontrol internal
atas karakter (karakter dewasa). Pada tahapan lahiriyah metoda yang digunakan
adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan
(hukuman) serta indoktrinasi. Sedangkan pada tahapan perilaku berkesadaran,
metoda yang digunakan adalah penanaman nilai melalui dialog yang bertujuan
meyakinkan, pembimbingan bukan instruksi dan pelibatan bukan pemaksaan. Dan
pada tahapan kontrol internal atas karakter maka metoda yang diterapkan adalah
perumusan visi dan misi hidup pribadi, serta penguatan akan tanggungjawab
langsung kepada Allah. Tahapan diatas lebih didasarkan pada sifat daripada
umur.
Karakter terbentuk setelah mengikuti proses sebagai
berikut :
–
Adanya nilai yang diserap seseorang dari
berbagai sumber, mungkin agama, ideology, pendidikan, temuan sendiri atau
lainnya.
–
Nilai membentuk pola fikir seseorang
yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk rumusan visinya.
–
Visi turun ke wilayah hati membentuk
suasana jiwa yang secara keseluruhan membentuk mentalitas.
–
Mentalitas mengalir memasuki wilayah
fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan disebut sikap.
–
Sikap-sikap yang dominan dalam diri
seseorang yang secara keseluruhan mencitrai dirinya adalah apa yang disebut
sebagai kepribadian atau karakter.
Jadi, proses pembentukan karakter
itu menunjukkan keterkaitan yang erat antara fikiran, perasaan dan tindakan.
Dari wilayah akal terbentuk cara berfikir dan dari wilayah fisik terbentuk scara
berperilaku. Cara berfikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental dan cara
berperilaku menjadi karakter. Apabila hal ini terjadi pengulangan yang
terus-menerus menjadi kebiasaan, maka sesuai dengan pendapat Imam al-Ghozali
yang mengatakan: Akhlak atau karakter adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang tanpa melalui proses pemikiran.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelas dan sekolah merupakan suatu
komunitas sosial yang keberadaan status sosialnya tidak kala lengkap jika di
bandingkan dengan kehidupan bermasyarakat di luar sekolah, keberadaan
status-status sosial di sekolah dan kelas telah menjadikan suatu komunitas
tersendiri yang dipenuhi oleh aturan-aturan terikat yang membutuhkan
intelejensi setiap warga komunitas itu untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya.
B. Saran
Makalah ini tentunya tidak terlepas
dari segala kekurangan dan kesalahan, kritikan dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar