AUGUST COMTE
Positivisme
Augus Comte
Auguste
comte dilahirkan di Montpellier, Perancis, tahun 1978. Keluarganya beragam
Katolik yang berdarah bangsawan. Dia memulai karir profesionalnya dengan
memberi les dalam bidang Matematika. (Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani,
2008:289). Positivisme berasal dari kata "positif". Kata
"positif" disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal
berikut: pada teori pengetahuan (Epistimologi) dan pada teori perkembangan
(akal budi) manusia. Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya
didefinisikan sebagai salah satu paham dalam filsafat Barat yang hanya mengakui
(membatasi) pengetahuan yag benar terhadap fakta-fakta positif, dan fakta-fakta
tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yakni
eksperimentasi, observasi, dan komparasi.Fakta positif adalah fakta yang
sungguh-sungguh nyata, pasti , berguna, jelas, dan yang langsung dapat diamati
dan dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati
dan menilainya. (Zainal Abidin, 2009: 129). Meskipun Comte yang memberikan
istilah "positivisme", gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan
berasal dari dia. Akan tetapi, Comte percaya bahwa penemuan hukum¬hukum alam
itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang (inherent) dalam kenyataan
sosial, dan jika melampaui batas-batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan
dan menghasilkan yang sebaliknya.
Skeptisisme
Comte berhubungan dengan usaha-usaha pembaharuan besar-besaran serta
penghargaan terhadap tonggak-tonggak keteraturan sosial tradisional menyebabkan
dia dimasukkan ke dalam kategori orang konservatif. Comte melihat masyarakat
sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekadar
jumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan
ini, metode penelitian empiris ,harus digunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Comte
melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai
puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh
ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup per¬kembangan dari bentuk-bentuk
pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai
terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang posifif. Bidang sosiologi (atau fisika
sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap, ini, karena pokok
permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan
biologi. (Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, 2008:297). Hukum tiga tahap perkembangan
akal budi manusia ini menurut Comte, berlaku buat segenap umat manusia, baik
sebagai kelompok (masyarakat, bangsa, negara) maupun sebagai individu.
Menurut
Comte manusia memiliki bebrapa tahapan dalam pekembangan akal budinya, tahap –
tahap itu sebagai berikut :
1)
Tahap Perkembangan Teologis
Tahap
ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini
manusia berusaha menerangkan segenapfakta atau kejadian dalam kaitannya dengan
teka – teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Segala-galanya, termasuk
manusia sendiri, diterangkan dalam hubungannya dengan keuatan-kekuatan yang
sifatnya misterius. (Zainal Abidin, 2009: 130). Bentuk yang pertama dalah
fetiyisme dan animisme. Manusia yang berada dalam fase ini
menghayati alam semesta dalam individualitas dan partikularitasnya. Benda dan
alam sekitarnya diyakini sebagai berdiri sendiri, terpisah dari yang lain dan
mempunyai daya kekuatan magis yang sakral, mempunyai kekuatan yang harus
dihormati supaya tidak berdampak negatif terhadap manusia.
Cara
berpikir kedua yang lebih maju dalam fase teologis ini adalah politeisme. Pada
fase ini, manusia telah mengelompokkan konsep dalam bentuk yang lebih umum
tidak lagi bersifat partikularitas-individualitas. Individualitas dan
partikularitas benda atau fenomena diganti oleh kelas-kelas benda atau
fenomena, dan kemudian diekspresikan dalam bentuk konsep-konsep umum dan
abstrak. Kemudian, terdapat cara berfikir lainyang lebih maju daripada cara
fikir yang pertama, karena sudah tampak adanya sejenis klasifikasiatas dasar
kesamaan dan kemiripan. Cara berfikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme.
Cara berfikir ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh dan (dewa) dari
benda-benda dan kejadian-kejadian, tetapi hanya mengakui satu roh saja, yakni Tuhan.
(Zainal Abidin, 2009: 131. Kekuatan tunggal itu bersifat absolut, semua benda,
fenomena bahkan manusia sendiri berasal dari kekuatan tunggal tersebut. Tuhan
merupakan realitas ruhaniah tempat kembalinya manusia menghadap kembali
pencipta, tuhan merupakan pengatur keharmonisan sekaligus kekacauan dunia ini.
Oleh karena itu tuhan mengandung ambiguitas luar biasa, tetapi tidak dapat
terbantahkan.
2)
Tahap Metafisik
Pada
tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berfikir lama, yang
dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia, untuk menemukan
jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. (Zainal Abidin, 2009:132).
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antar tahap teologi dan tahap
possitif. Pada tahap metafisik Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian
yang berturut-turut dari semangat teologis kepada munculnya semangat metafisik
yang mantap. (Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, 2008:302). Zainal Abidin
(2009:132) menjelaskan hal ini dengan gamblang, sebagai berikut: “Pada tahap
metafisik, pada kenyataannya hanya merupakan modifikasi sederhana yang bersifat
umum saja dari tahap pertama, agen-agen supranatural digantikan oleh
kekuatan-kekuatan abstrak, entitas-entitas yang lebih nyata, atau
abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan, yang memang ada di dalam dunia
ini. Entitas-entitas tersebut tampaknya mampu memunculkan dirinya sendiri pada
semua gejala yang diselidiki, sehingga masing-masing gejala dijelaskan dengan
cara menunjukkannya pada entitas-entitas yang sesuai dengan apa yang sedang dijelaskan”.
3)
Tahap Positif
Comte
menulis: “sebagai seorang anak kita harus belajar menjadi teolog, sebagai
dewasa kita harus belajar menjadi metafisika, daan sebagai seorang dewasa kita
menjadi ahli ilmu alam”. Dalam tahap positif gejala dan kejadian alam
tidak lagi dijelaskan secara apriori, melainkan berdasarkan observasi,
eksperimen dan komparasiyang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian harus
dibersihkan dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan lagi
untuk mencari kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden atau, hakikat (esensi)
di dalam setiap gejala dan kejadian. (Zainal Abidin, 2009:133). Tahap positif
ditandai oleh kepercayaan akan .data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak;
semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap
data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal
budi penting. (Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, 2008:303).
Pada
akhirnya tahap positif dari perkembangan akal manusia ini menempatkan ilmu
pengetahuan positif sebagai alat untuk menjelaskan fenomena alam. Tujuannya
adalah pembangunan manusia dengan mengedepankan pembangunan fisik-material
manusia. Bukan hanya pada fenomena alam saja cakupan kerja pengetahuan positif,
tetapi bidang etika dan moral pun mendapat resapan yang cukup kuat.
4) Ilmu Pengetahuan Positi
Asumsi
pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral).
Objektivitas pengetahuan berlangsung dari pihak objek dan subjek. Pada pihak
subjek ilmuan tidak boleh terpengaruhi oleh factor-faktor yang berasal dari
dirinya sendiri, misalnya dari sentiment pribadi, penilaian-penilaian etis,
kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama. Asumsi kedua,ilmu
pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi.
Andaikata pengetahuan diarahkan kepada hal-hal yang unik, yang hanya sekali
terjadi maka pengetahuannya tidak akan memmbantu kita untuk meramalkan atau
memastikan hal-hal yang akan terjadi. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan
menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan dan
antar hubungannya dengan fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian lain. (Zainal
Abidin. 2009:135-137)
SUMBER:
Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung : Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar