FILSAFAT ABAD KONTEMPORER/ POSTMODERNISME

FILSAFAT ABAD KONTEMPORER/ POSTMODERNISME

            Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang telah berkembang pada abad Modern, seperti neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme. Oleh karena banyaknya keterbatasan, maka dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh yang banyak pengaruhnya pada abad ke-20 ini.
            Tokoh utama fenomenologi, yaitu Edmund Husserl (Tahun 1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya, ia banyak mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat spektakuler. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Yunani: phainomenon). Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang menampakkan diri atau fenomenon (Bertens,  1987: 100). Fenomenon bagi Husserl adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas itu sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang fenomenon ini, mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak Descartes, bahwa kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup, artinya bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas. Jadi, ”kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan realitas menampakkan diri.
            Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Titus dkk. (1984: 382) tentang aliran Eksistensialisme mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam kolektif atau massa. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre (Tahun 1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan. Rasio ini dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat dialektis, dan juga karena ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah (Bertens, 1987: 111).
            Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika aliran eksistensialisme menekankan pada peranan individu, maka aliran strukturalisme justru melihat manusia ”terkungkung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip lingustik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut ”Geisteswissenschaften” yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau ”Naturwissenschaften”.
Kedua, struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah yang muncul dalam sejarah filsafat.  Metodologi struktural di sini dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia (Kurzwell, 1980: vi-x).
            Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran strukturalisme ini memilki corak yang beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem, melinkan takluk pada sistem.
            Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme, yaitu Michel Foucault (Tahun 1926-1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran manusia (Bertens, 1987: 217). Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
            Di abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praksis cukup besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran (Titus, dkk, 1984: 340). Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
            Salah satu tokoh Pragmatisme adalah William James (Tahun 1842-1910), berpandangan bahwa pikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan, yaitu:
Pertama, pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Kebenaran itu suatu proses, suatu idea dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena kebenaran itu hanya satu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan hasil/ buah pikiran), maka kebenaran potensial menjadi real.
            Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat populer pada penghujung abad ke-20 ini merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat serta ilmu pengetahuan. Istilah ”Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
            Pada awalnya Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan Modernisme. Filsafat dalam Modernisme memang berpusat pada Epistemologi yang bersabda pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (Fondasionalisme), dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme). Dengan demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang ”berakhirnya Modernisme” biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan Modern tentang ”subjek” dan ”dunia objektif” tadi (Bambang Sugiharto, 1996: 33).

            Wacana Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard (Tahun 1924- ) menerbitkan bukunya ”The Postmodern Condition: A Report on Knowldge” (Tahun 1979). Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat Modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitive dulu. Seperti halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah besar pun melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social politik, system hokum serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda dengan mitos-mitos, kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh dewa-dewa) melainkan dalam suatu masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan (Bertens, 1987: 348). Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan idea seperti itu adalah emansipasi progresif dan rasio serta kebebasan dalam liberalisme politik.

sumber : http://filsafat-unhi.blogspot.co.id/2014/03/filsafat-barat.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon Filsafat

Discussion text

Ciri Berpikir filosofis dan Gaya Berfilsafat