FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN

FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN

            Filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampaknya kurang seimbang. Hal ini dapat dilihat antara lain karena filsafat merumuskan pertanyaan, sedangkan ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Namun di lain pihak, sejarah suatu ilmu tertentu  kurang dipentingkan bagi umat manusia sekarang, karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali sudah dikoreksi, sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap actual bagi manusia masa kini.
            Pendapat-pendapat masa lampau tentang “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengethauan, tidak lebih jelek atau lebih baik daripada pendapat-pendapat yang dikemukakan sekarang. Sejarah filsafat seakan-akan merupakan suatu diskusi kontinyu mengenai pertanyaan-pertanyaan manusia, dan dalam hal ini rentetan pendapat dari semua jaman dan sudut dunia sama berharga.
            Sejarah filsafat mirip suatu museum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat pendapat pemikir-pemikir besar mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus menerus. Dalam koleksi ini dibedakan tiga tradisi besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Barat. Khusus dalam rencana pembicaraan ini adalah filsafat Barat yang mempunyai tiga jaman yang menonjol dan tiga periode keemasan, yaitu filsafat kosmosentris dari jaman Yunani, filsafat teosentris dari abad pertengahan, dan filsafat antroposentris dari jaman modern dan kontemporer. Pada bahasan ini hanya akan berbicara tentang jaman ketiga, yaitu pereode yang dimulai dari filsafat hasil pemikiran Rene Descartes (1596-1650) yang mendapat julukan Bapak filsafat modern, yang berlangsung sampai masa kini dan tetap jadi pembicaraan.
            Berbicara tentang filsafat modern, amat luas menghadapi pertanyaan, oleh sebab itu, maka “mana yang harus dimuat, mana tidak”: what to leave out and what to put in, that’s the problem. Pembicaraan pada masalah ini banyak hal yang tidak dimuat, sehingga nanti akan nampak sebagai ihtisar yang sederhana. Ihtisar dimaksud adalah ihtisar tentang filsafat modern dari filsafat abad ketujuh belas, filsafat abad kedelapan belas, dan filsafat abad kesembilan belas. Filsafat pada abad-abad itu sudah dianggap “klasik”. Di sinilah nanti beberapa pokok pemikirannya tentang filsafat modern yang dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

Filsafat Abad Modern.
            Peralihan dari abad pertengahan ke abad Modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan ”Renaissans”. Era Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas, 1960: 3). Pada jaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad Pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2).
            Zaman Renaissans terkenal dengan jaman kelahiran kembali kebasan manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas. Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan adalah manusia bebas seperti yang ada dalam zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah ”mengungkung” kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
            Filsafat Barat Modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan ”Renaissans” itu di dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja.
Kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan (Russell, 1957: 511).
Pengaruh dari gerakan Renaissans iu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia  Barat dari otoritas Gereja merupakan dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissans, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak jaman Renaissans, kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, namun dapat berubah dan diferivikasi sepanjang waktu.
            Dengan demikian filsafat Barat Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada Zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman Modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah agama dengan Gerejanya, serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
            Para filsuf Modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai ahli waris zaman Renaissans, filsafat Modern itu bercorak ”antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan filsafati. Semua filsuf pada zaman Modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi; ”aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan (Hammersma, 1983: 3-4).
            Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman Modern, khususnya dalam abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologi ini, maka dalam filsafat abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat dimaksud adalah aliran rasionalisme dan aliran empirisme.
            Mengawali filsafat Modern dengan kemunculannya aliran rasionalisme yang tokoh utamanya adalah Rene Descartes, maka setidak-tidaknya harus dipahami bagaimana filsafat Rene Descartes. Dari sinilah tonggak awal pemikiran filsafat Modern dimulai. Dengan ketidak puasannya Rene Descartes (1596-1650)terhadap filsafat pada zaman Renaissans, yang dianggapnya kurang sistematis dan kurang metode, maka diperbaharuilah filsafat, yaitu dengan “kesangsian metodis”. Menurut Rene Descartes, segala sesuatu hal disangsikannya, supaya tinggal diterima hal yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu system filsafat seperti suatu system ilmu pasti: yaitu suatu system berdasarkan aksioma-aksioma, dan tersusun menurut langkah-langkah logis, yaitu:
            Pertama, ia mengawalinya dengan ucapan “kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri”.  Sebenarnya pikiran ini tidak baru, namun yang baru pada Descartes, yaitu bahwa subjek yang sedang berpikir menjadi titik pangkal untuk filsafatnya. Kata Descartes, kalau saya ragu-ragu akan segala sesuatu, saya masih berpikir, dan kalau saya berpikir, saya ada. Jadi kalau saya berpikir maka saya ada, istilah Yunani: Cogito ergo sum (Harry Hamersma, 1992: 8).
            Kedua, Descartes dalam berpikir berpangkal pada dirinya sendiri. Artinya, bahwa ia mengambil manusia yang sebagai subjek berpikir sekaligus dijadikan sebagai titik tolak berpikirnya. Hal inilah yang sama sekali baru, karena sebeleum Descartes, kebenaran selalu berdasarkan kekuasaan di luar manusia, misalnya kekuasaan kitab suci, tradisi, Negara, dan lain sebagainya. Tetapi bagi Descartes, bahwa manusia sendiri menjadi kekuasaan yang “membawa”, dan “memikul” kenyataan. Manusia yang berpikir merupakan pusat dunianya, dan berkat idea inilah sehingga ia dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”.
            Ketiga, bahwa Desacartes mengatakan bila dirinya telah mempunyai kepastian tentang idea. Hal ini tampak dengan ucapannya “saya berpikir, maka saya ada”, karena menurutnya idea “jelasdan tegas”, dan semua hal yang dimilikinya merupakan idea-idea yang jelas dan tegas atau yang dilihatnya (Prancis: clare et distincte) itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini tanpa pertolongan apa pun. Oleh karena itu, Descartes nampaklah bahwa dirinya sebagai seorang “rasionalis” sejati.
            Keempat, Descartes menyatakan bahwa ideanya tentang yang “jelas dan tegas”, di dalamnya memuat tiga substansi yaitu, substansi Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extensio). Substansi pemikiran merupakan bidang psikologi atau bidang jiwa, sedangkan keluasan adalah bidang ilmu alam atau bidang materi. Dalam manusia kedua bidang yaitu pemikiran dan keluasan merupakan kesatuan, namun menurut Descartes tentang kesatuan ini agak aneh. Maksudnya yaitu, bawa pemikiran yang berupa kejiwaan dan keluasan yang berupa badani atau materi  adalah merupakan dua kenyataan terpisah, yang saling mempengaruhi melaui kelenjar kecil di bawah otak. Oleh sebab itu, seorang filsuf Inggris, Ryle, mengatakan bahwa dalam pikiran Descartes, manusia itu bagaikan “suatu hantu dalam sebuah mesin” (Harry Hamersma, 1992: 9).
            Berdasar dari pemikiran Descartes seperti itu, ternyata pengaruhnya tidak hanya bidang filsafat, melainkan juga ilmu pasti, ilmu alam, dan kedokteran, sehingga tampak jelas, bahwa dia telah memberi epistemology yang sama sekali baru, dan filsafat telah dibuatnya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sikap rasionalis ini pun juga ditemukan pada Spinoza dan Leibniz.
            Filsafat modern tidak saja ditemukan pada Descartes, meskipun dia telah mencari dasar untuk semua kepastian,  dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berpikir, maka saya ada”. Ternyata penglihatan Descartes tentang “saya berpikir, maka saya ada” menjadi titik pangkal aliran rasionalisme, meskipun di Inggris dalam waktu yang sama juga timbul aliran lain, yaitu aliranempirisme.
            Aliran empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan aliran ini sangat penting bagi John Loke (1632-1704)sebagai seorang tokoh aliran empirisme Hal ini dapat dimengerti karena rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, maka empirisme menekankan peranan “pengalaman inderawi” (Yunani: emperia).
            Bagi penganut empirisme, bahwa sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman. Oleh sebab itu para penganut aliran empirisme berkeyakinan bahwa manusia tidak mempunyai idea-idea bawaan yang dalam bahasa Yunani disebut ”Innate ideas”.Bagi mereka manusia itu ibarat kertas putih yang belum ditulisi, dan baru terisi melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
            Aliran empirisme pertama kali berkembang di Inggris pada abad ke-15 dengan Francis Bacon sebagai pelopornya. Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam penyelidikan atau penelitian. Menurut Francis Bacon, bahwa manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda. Kemudian ajaran ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, John Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia. Menurut Locke, tidak ada perbedaan antara pengetahuan dari akal budi dan pengetahuan dari pancaindera. Semua pengetahuan berasal atau dari pengalaman lahiriah (dari sense atau external sensation).  Atau dari pengalaman batin (internal sense atau reflexion). Yang lahiriah memberi informasi tentang dunia di luar manusia, yang batin tentang dunia di dalam manusia, yakni jiwa. Pengalaman lahiriah, sensation, itu tersusun dari sifat-sifat seperti ”keluasan”, ”bentuk”, ”jumlah” dan ”gerak”. Pengalaman batin, reflexion, terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya sendiri. Dengan cara ini terjadi ”ingat”, ”memperbandingkan”, ”menghendaki”, dan seterusnya. Pikiran John Locke tidak hanya penting untuk epistemologi dan psikologi, melainkan juga untuk politik. Dari John Locke berasal ide tentang pembagian kekuasaan politik atas tiga unsur. Pembagian ini setelah disempurnakan oleh filsuf Perancis Montesquieu, menjadi fondamen politik untuk banyak sekali demokrasi modern. Menurut John Locke, kekuasaan politik harus dibagi antara pemerintah (kekuasaan eksekutif), parlemen (kekuasaan yang menetapkan Undang Undang), dan rakyat (kekuasaan federatif) yang memutuskan tentang hal-hal yang sangat penting, seperti perang dan damai. Unsur ketiga ini, dalam pikiran politik Montesquieu diganti dengan kekuasaan kehakiman. Secara hal ini tersusunlah trias politica, suatu keseimbangan kekuasaan yang telah membuktikan efektivitasnya: pemerintah – parlemen – kehakiman. Hanya kalau tiga bidang ini sama sekali terpisah, demokrasi betul-betul terjamin sehingga baik diktatur maupun anarki dapat dihindarkan. Ide-ide politik John Locke secara langsung dipraktekkan dalam Glorious Revolution di Inggris, dan dalam kemerdekaan Amerika Serikat (Harry Hamesma, 1992: 19).
Paham empirisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (tahun 1611-1776), ia menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman, dan ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prinsip apriori, yang bertitik tolak dari idea-idea bawaan. David Hume mengajarkan bahwa manusia  tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan ialah pengamatan, melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (impresion) dan pengertian-pengertian (ideas) (Harun Hadiwijono, 1985: 52). Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Sedangkan pengertian-pengertian merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan langsung.
            Di abad filsafat Modern, kemunculan aliran-aliran bukan saja hanya aliran rasionalisme dan aliran empirisme, melainkan banyak aliran lain, seperti aliran Kritisisme, aliran Idealisme, aliran Positivisme, dan lain sebagainya, yang kemudian dilanjutkannya dengan filsafat abad kesembilan belas.
            Dari sudut historis secara umum, ciri-ciri khas abad kesembilan belas adalah ”ekspansi” dan ”desintegrasi”. Ekspansi memperlihatkan diri dalam macam macam perkembangan spektakuler, seperti dalam jumlah penduduk, dalam kemajuan teknis dan ilmiah, dan dalam politik imperialistis. Desintegrasikelihatan di hampir semua bidang kehidupan manusia. Manusia abad kesembilan belas makin sendirian. Banyak struktur sosial dan religius hilang. Sejajar dengan proses individualisasi politik, yaitu dalam bentuk nasionalisme yang berlebih-lebihan. Juga dalam dunia ilmu pengetahuan kelihatan suatu proses disintegrasi. Peranan bahasa Latin sebagai bahasa internasional untuk semua ilmu, dalam abad kesembilan belas semakin kecil, sehingga hanya masih dapat dibaca buku-buku ilmiah yang diterbitkan dalam bahasa-bahasa yang kebetulan dikuasai.
            Desintegrasi ini juga dicerminkan dalam filsafat abad kesembilan belas. Peta filsafati abad ini penuh kekacauan. Ada beberapa ”jalan raya” atas peta ini, seperti positivisme, materialisme, eksistensialisme, evolusionisme, dan pragmatisme. Tetapi tidak mudah untuk melihat semua aliran ini dalam satu perspektif besar. Mungkin terdapat hanya dua ciri umum di bawah semua perbedaan pendapat filsafat abad kesembilan belas. Yang pertama, yakni bahwa hampir semua aliran merupakan suatu ”reaksi”, sedang yang kedua, ialah bahwa manusia sekarang lebih diselidiki sebagai pusat ”kehendak” dan ”tindakan” daripada sebagai pusat intelek dan pemikiran. Contoh: seperti positivisme merupakan suatu reaksi terhadap spekulasi teologis dan metafisis filsafat Hegel, demikian materialisme merupakan suatu reaksi terhadap idealisme Hegel, dan eksistensialisme suatu reaksi terhadap esensialisme Hegel. Juga pragmatisme merupakan suatu reaksi terhadap suatu sikap teoritis. Reaksi-reaksi ini merupakan hampir setiap kali sekaligus suatu peralihan perhatian dari rasio dan empiri ke kehendak. Dalam filsafat setelah Hegel, peranan kehendak sebagai motor tindakan di mana-mana lebih ditekankan daripada peranan rasio sebagai subyek pemikiran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon Filsafat

Discussion text

Ciri Berpikir filosofis dan Gaya Berfilsafat