Filsafat Jaman Sokrates


           Filsafat jaman Sokrates, sebab hasil pemikiran di sini diawali cara berfilsafatnya seorang filsuf yang tidak asing lagi bagi telinga setiap orang yang sedang dan akan belajar filsafat. Seorang filsuf dimaksud adalah Sokrates, meskipun tak seorang pun tahu persis bilamana ia dilahirkan. Untuk dapat dipercaya kesaksiannya adalah bahwa Sokrates pada tahun 399 s. M. Dijatuhi hukuman mati dengan harus minum racun di depan para muridnya. Pada waktu itu diceriterakan bahwa Sokrates berumur 70 tahun, oleh sebab itu ia diperkirakan lahir kira kira tahun 470 s. M. (Harun Hadiwijono, 1988: 35.
            Jika melihat lahir dan perkembangannya filsafat khususnya filsafat Barat, maka tidak ada filsuf yang sangat ramai dibicarakan kecuali Sokrates. Tentang diri Sokrates memang tampak ada dua pandangan yang sangat ekstrim tentang dirinya, yaitu disatu pihak bahwa Sokrates dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup dibumi ini, sedangkan di lain pihak ada yang menganggap bahwa Sokrates bukan seorang filsuf. Dari kedua pandangan yang ekstrim itu memang menimbulkan problem juga pada para pemikir berikutnya. Problem dimaksud antara lain karena Sokrates sendiri tidak pernah menuliskan hasil pemikirannya, sehingga tidak bisa dipelajari pemikiran yang berupa buah pena Sokrates sendiri, dan hanya diperoleh dari murid atau sumber lain yang menceriterakan tentang diri Sokrates. Ditambah lagi bahwa banyak sumber lain yang tidak menggambarkan Sokrates dan keaktifannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian Sokrates yang histories tidak dapat dikenal, namun ada sejarawan sejarawan lain yang bersikap lebih optimistis tentang eksistensi Sokrates sebagai seorang filsuf yang besar.
            Sumber untuk mempercayai bahwa Sokrates memang pernah ada di bumi ini, dirasa cukup dengan kesaksian dari empat orang sebagai sumber, karena empat orang ini memang memainkan peran besar dan penting dalam menginterpretasi kehidupan maupun ajaran Sokrates. Adapun keempat sumber dimaksud adalah :
Aristopanes yang seorang comedian ternama di Athena, yang hidupnya sejaman dengan Sokrates. Komedi dari Aristopanes sangat lucu membicarakan peristiwa peristiwa actual, tokoh tokoh dan pikirannya yang lazim pada para penonton yang di sini Sokrates disebut sebutnya. Ada satu komedi yang berjudul Awan awan, dipentaskan pertama kalinya pata tahun 423 s. M. dimana Sokrates sebagai pelaku utamanya.
Xenophon yang lahir tahun 430 s. M. di Athena dari keluarga bangsawan pada waktu itu. Ia adalah pengikut Sokrates, meskipun tidak ingat berapa lama menjadi pengikutnya. Xenophon meninggalkan beberapa karya tulis, yang diantaranya adalah berjudul Memorabilia yaitu berupa kenang kenangan akan Sokrates terutama tulisan kecil tentang Sokrates.
Plato yang lahir pada tahun 427 di Athena, ia sangat mengenal akan Sokrates sejak masih kecil sampai kematian Sokrates pada tahun399 s. M. Plato banyak menulis tentang dialog dialog, dan ada satu dialog, yaitu berjudul Nomoi, di sini ditulis bahwa Sokrates bercakap cakap dengan sahabat sahabatnya. Disamping itu, karya Plato sebagian besar berisi tentang Sokrates sebagai pelaku utama dalam dialognya.
Aristoteles, yang lahir 15 tahun setelah kematian Sokrates, namun meskipun lahirnya setelah Sokrates, ia adalah murid Plato sehingga ia tahu banyak tentang kehidupan dan ajaran Sokrates.
Jika dilihat dari empat sumber seperti disebutkan di atas untuk meyakini bahwa Sokrates memang pernah hidup di muka bumi ini, maka sudah semestinya bila orang satu dengan lainnya berbeda dalam melihat sumber mana yang dianggap sangat penting untuk menentukan riwayat hidup dan ajaran Sokrates. Ada ahli yang mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato, dan ada pula yang mementingkan Aristoteles, tapi yang jelas untuk Aristophanes tidak begitu dipentingkan khususnya tentang komedi komedinya, karena tidak dapat untuk menentukan ajaran Sokrates. Walaupun demikian karya karya Aristophanes ada juga gunanya dalam menentukan Sokrates pernah ada, karena dalam komedi komedinya disimpulkan bahwa Sokrates adalah tokoh terkenal di Athena sekitar tahun 420 s. M.
            Sokrates tidak beda dengan kaum Sofis, karena ia juga memberi pelajaran kepada rakyat. Di samping itu Sokrates juga mengarahkan perhatiannya kepada manusia seperti ajaran kaum Sofis. Perbedaan Sokrates dengan kaum Sofis adalah bila kaum Sofis mengajar rakyat karena agar mengikutinya dan untuk mencari uang, serta memberikan keyakinan tentang relatifisme, sedangkan Sokrates tidaklah demikian. Sokrates mengajar rakyat tidak memungut uang kepada mereka, namun mengajar untuk mendorong orang supaya supaya mengetahui dan menyadari sendiri, sebab Sokrates yakin bahwa ada kebenaran yang objektif.
            Kaum Sofis juga mengajar kepada rakyat tentang pendidikan seni berpidato, yaitu yang disebut dengan istilah retorika, sehingga menjadi banyak orang sombong. Oleh sebab itu, Sokrates dengan cara menggelikan mengajukan pertenyaan pertanyaan kepada rakyat murid kaum Sofis yang merasa pandai. Akhirnya jawaban jawaban mereka saling bertentangan, sehingga banyak ditertawakan pendengarnya. Metode Sokrates yang membuat jawaban orang menjadi bingung dan bertentangan itu disebutnya metode ironi (Yunani: eironeia). Segi positif dari metode ironi ini adalah terletak pada usahanya untuk mengupas kebenaran dari kulit “pengetahuan semu” orang orang itu.
            Sokrates dalam mengajar menggunakan cara dialektika (Yunani: dialegesthai artinya bercakap cakap), yaitu cara mengajar dengan mementingkan peran dialog. Namun dialog cara mengajar Sokrates adalah bukan sembarang dialog, melainkan dialog yang dibandingkan dengan ibunya sebagai seorang bidan yang menolong kelahiran bayi, yaitu Sokrates ingin melahirkan “pengertian yang benar”, sehingga lalu olehnya disebut dengan metode seni kebidanan yang dalam bahasa Yunani adalah maieutike tekhne. Jadi Sokrates bukan bertindak sebagai bidan yang menolong melahirkan bayi, melainkan ia membidani jiwa jiwa. Artinya bahwa Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun dengan pertanyaan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain, dan juga ia menguji nilai nilai pikiran yang sudah dilahirkan.
            Cara bekerja Sokrates seperti disebutkan di atas, artinya ia telah menemukan cara berpikir induksi, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya, banyak orang yang menganggap dirinya ahli (ahli tukang sepatu, ahli tukang kayu, ahli tukang batu, dll) sebagai keutamaannya. Lain lain orang yang ahli seperti tukang tukang tadi menganggap keutamaannya berbeda beda sesuai ahli mereka. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, maka semua keutamaan yang bermacam macam itu harus disingkatkan, tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Jadi dengan induksi sekaligus juga ditemukan yang disebut definisi umum. Tentang definisi umum pada waktu itu belum dikenal, maka Sokrates adalah sebagai penemunya.
            Sokrates meskipun tidak meninggalkan tulisan tulisan dalam ajaran filsafatnya, namun berdasarkan kesaksian dari para murid dan orang terpercaya di atas, akhirnya juga dapat disimpulkan ajarannya sebagai berikut:
Bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya semata mata, namun asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa menurutnya adalah inti sari manusia, dan hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.
            Oleh karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (Yunani: eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, misalnya: kesehatan, kekayaan dll. Jadi, manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Oleh sebab itu, bila manusia hanya hidup saja, sudah tentu hal itu belum ada artinya, maka orang harus hidup yang baik supaya mencapai kebahagiaan. Kemudian, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan ?.
            Sokrates mengatakan bahwa alat untuk mencapai kebahagiaan (Yunani: eudemonia) adalah kebajikan atau keutamaan (Yunani: arête). Akan tetapi kebajikan atau keutamaan yang dimaksudkan oleh Sokrates adalah bukan diartikan secara moral, namun olehnya diartikan lebih luas dari itu. Misalnya, kebajikan seorang tukang kayu adalah kebajikan atau keutamaan yang menjadikan tukang kayu itu menjadi tukang kayu yang baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, dan mempunyai keahlian di bidang itu. Demikian halnya dengan kebajikan atau keutamaan bagi seorang ahli yang lain. Jika dilihat dari hal itu, maka nampak bahwa pendirian yang terkenal dari Sokrates yaitu “keutamaan adalah pengetahuan”. Oleh karena itu keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik, dan hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi, menurut Sokrates bahwa baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
            Bertolak dari pandangannya di atas, maka menurut Sokrates adalah tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah. Bilamana orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak berpengetahuan, sehingga ia keliru.

            Oleh karena kebajikan atau keutamaan adalah pengetauan tentang yang baik, padahal yang baik adalah hanya satu, maka kebajikan atau keutamaan hanya ada satu saja, dan sifatnya menyeluruh. Jadi, bila memiliki kebajikan yang satu itu berarti memiliki segala kebajikan. Misalnya, orang yang berani, sudah barang tentu juga adil dan menaruh belas kasihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bila tidak demikian, maka itu berarti bukan kebajikan yang sejati. Dengan demikian, jika memiliki arête, memiliki kebajikan atau keutamaan, berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia (Harun Hadiwijono, 1988: 37).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon Filsafat

Discussion text

Ciri Berpikir filosofis dan Gaya Berfilsafat