pemikiran tokoh-tokoh Islam
pemikiran tokoh-tokoh Islam
A. Al-Kindi
1.
Filsafat atau Pemikirannya
a. alfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara
agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar (
knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih
meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak
dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan
mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan
sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama
bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan
agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita
harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak
ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi
beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat
karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah
mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat
dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:
1) Filsafat
termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan
agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh
tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para
Rasul dalam bentuk wahyu.
2) Jawaban
filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi
jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3) Filsafat
mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun
Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak
tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal
dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya
dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan
berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah.
Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling
memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa
yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih
dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan
bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak
bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan
badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa
kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer.
Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak
menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi
berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah,
dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
2. Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus
memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib
menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri
(Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang
memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
B.
Al-Farabi
1. Pemikirannya
a) Pemaduan
Filsafat
Al-Farabi
berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya
terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan
filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan
filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam
masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal
matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk
mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles
mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena
apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal
atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal
yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan
interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai
pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles
mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut
sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat
perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1) Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara
keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3) Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal
definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang
ada secara mutlak.
Adapun
perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada
kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh
kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran.
Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya,
dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat
Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti
Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa
Adapun
jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Mengenai
keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa
khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya
badan.
c) Politik
Pemikiran
Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan
dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’
al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak
dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada
kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai
fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena
kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk
mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara.
Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau
penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan
organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus
orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara
yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus
memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam,
cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks,
cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu
saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala
negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak
terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut,
pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang
termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran
Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang
ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku
suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri,
sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran
Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah
diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
C.
Ibnu Sina
1.
Pemikirannya
a)
Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan
kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok: mereka
yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian
rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan
kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga
berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian
secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan
datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi
tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam
ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang
dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup,
bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya
pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan
imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan
psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan
konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian
kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi
percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar
atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan
dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal
dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang
dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai
dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan
orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh
hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima
ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda
lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi
perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal
fa’al.
Mengenai
bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak
diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan.
Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran
dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
D.
Al-Razi
1.
Filsafatnya
Lima
Kekal ( Al-Qadiim ) Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami
sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat
banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya
mengenai 5 hal yang kekal.
5
hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs
Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan
al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan
dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu
Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasifitu materi, yang tidak
hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary
Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia
menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs
Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang
kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula
al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain
adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi
pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi
bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan
al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya
dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab
terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang universal yang
tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan
al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang
absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang
mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur
adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan
bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya,
bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang
terbatas.
SUMBER:
Muhammad
Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945
Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta:
rajawali pers, 2004
Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
Nasution
Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.
Komentar
Posting Komentar