Belajar Respondent



A.    Clasical Conditioning menurut Ivan Pavlov

1.      Sejarah conditioning Responden atau Kondisioning Klasik (Davidoff, 1988)
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi terkemuka dari Rusia, dipandang sebagai penemu proses kondisioning responden. Sebagai akibatnya, maka prosedur ini sering disebut sebagai kondisioning Pavlov. Sudah dapat dipastikan dialah sebagai peraih hadiah nobel ketika dia mulai dengan penelitiannya dalam hal kondisioning. Dalam serangkaian penelitiannya mengenai pengeluaran cairan-cairan pencernaan pada anjing, dia mencatat bahwa hewan-hewan dapat mengeluarkan air liur yang tidak hanya disebabkan oleh makanan saja. Misalnya hewan itu dapat berliur ketika melihat si pemberi makan. Keluarnya air liur ini, yang semula merupakan hal yang mengganggu, justru kemudian memancing keinginan Pavlov untuk lebih banyak meneliti hal ini. Kemudian dia bersama teman-temannya merancang suatu situasi tertentu sedemikian rupa sehingga dapat memancing keluarnya air liur hewan. Mereka berusaha pula dengan cermat dan hati-hati agar tidak melibatkan faktor-faktor dari luar yang disebut factor ekstraneous.  Pavlov terus menerus mengadakan penelitian mengenai kondisioning responden ini sampai akhir hayatnya dan meninggal dunia dalam usia 87 tahun.
2.      Penelitian Classical Conditioning (Purwanto, 2002)
Dapat dikatakan bahwa pelopor dari teori conditioning ini adalah Pavlov seorang ahli fisiologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing. Secara ringkas percobaan-percobaan Pavlov dapat kita uraikan sebagai berikut:
Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga kelenjar ludahnya berada di luar pipinya, dimasukkan ke kamar yang gelap. Di kamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan percobaan-percobaan.

Dari hasil percobaan-percobaan yang telah dilakukan dengan anjing Pavlov mendapatkan kesimpulan bahwa gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned reflex) keluar air liur ketika melihat makanan yang disodorkan dan refleks bersyarat/refleks yang dipelajari (conditioned reflex) keluar air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu.
Sesudah Pavlov, banyak ahli-ahli psikologi lain yang mengadakan percobaan-percobaan dengan binatang, antara lain Guthrie, Skinner, Waston dan lain-lain. Waston mengadakan eksperimen-eksperimen tentang perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Waston yang mula-mula tidak takut pada kelinci dibuat menjadi takut pada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak menjadi takut lagi pada kelinci.
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Utuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya.
Kelemahan dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolakan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.


3.        Prinsip dan aplikasi kondisioning responden
Para psikologi Amerika dan Rusia telah banyak meneliti mengenai kondisioning responden  ini di dalam laboratorium mereka untuk selama lebih dari 50 tahun. Secara tradisional, mereka memilih rangsangan  tak bersyarat yang sederhana saja seperti misalnya tiupan angin, makanan  pemberian aliran listrik yang ringan ke kaki. Kejadian-kejadian tersebut dapat menimbulkan respons tak bersyarat yang juga sederhana seperti misalnya berkedip, keluar air liur dan menekuk lutut.
Secara khusus para ilmuwan perilaku juga menggunakan rangsangan netral yang sederhana, seperti misalnya nada, cahaya dan kartu dengan gambar geometris atau kata-kata. Dengan memilih secara cermat rangsangan yang sudah diperjelas dan juga responsnya membuat semakin yakin bahwa prosedurnya dapat dapat dibuat seragam dan bahwa sarana pengukuran yang tepat dapat diusahakan. Para peneliti kemudian juga meneliti mengenai beberapa aspek lainnya dari kondisioning responden ini dalam hal magnitude yaitu besarnya ataupun jumlahnya juga intensitasnya (seberapa jauh jarak yang diperlukan antara rangsang yang diberikan dengan munculnya respons tertentu) dan reliabilitasnya (seberapa prosentase pengujian penelitian yang dapat memancing respons).
4.        Implikasi teori Clasical Conditioning terhadap pembelajaran masa kini
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa dalam kegiatan pembelajaran pendidik memberikan arahan kepada peserta didik untuk berfikir cepat dan tepat. Selain itu, pendidik juga dapat menggunakan metode pembelajaran yang bisa mengubah kebiasaan peserta didik menjadi lebih baik. Pendidik seharusnya juga dapat memperhitungkan antara rangsang yang diberikan terhadap respons peserta didik. Apabila tidak mampu dilakukan dalam satu kali pemberian rangsangan maka harus dilakukan beberapa kali sampai tujuan untuk mengubah kebiasaan peserta didik dapat tercapai. Seperti misalnya, mengubah kebiasaan peserta didik yang malas menjadi rajin. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menentukan besarnya keberhasilan dan dampak yang ditimbulkan dari metode yang diterapkan tersebut.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a)                  Law Of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan ( yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer ), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b)                  Law Of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika Refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent Conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan Reinforcer, maka kekuatannya akan semakin menurun.

B.     Teori Operant Conditioning

1.    Sejarah teori operant conditioning (Davidoff, 1988)
B. F. Skinner (lahir 1904), seorang psikolog Amerika merupakan salah satu orang yang menyumbang pikirannya kepada kodisioning operan ini. Dia selalu menekankan bahwa perilaku yang terlihat itu adalah satu-satunya hal yang harus menjadi pusat minat dan perhatian ahli psikologi. Pada akhir tahun 1920-an dia mulai meneliti mengenai kondisioning operan ini. Seringkali dia melatih sekelompok  kecil burung dara atau tikus yang lapar agar mencucuk sebuah tombol. Setiap kali hewan itu berhasil dengan tindakan tertentu, maka makanan akan dikirimkan ke dalam mangkuknya. Skinner kemudian menyimpulkan bahwa mengamati respons dari hewan yang secara relatif masih primitif di dalam lingkungan yang bebas gangguan, adalah satu-satunya cara yang paling efektif untuk menentukan hukum-hukum dasar kondisioning operan.
            Buku novel khayalan karangan Skinner yang berjudul Walden Two mengenai sebuah masyarakat yang berdasarkan kondisoning operan ini telah menimbulkan inspirasi terhadap masyarakat. Yang lebih penting lagi ialah bahwa penelitian terhadap kondisioning operan ini telah mengarah pada teknologi mengajar yang canggih, yang dinamakan modifikasi perilaku (behavior modification). Dan teknik ini telah dipakai di seluruh dunia oleh para psikolog, guru, orang tua dan pihak lain dalam lingkungan yang berbeda-beda.

2.  Penelitian Operant Conditioning
Menurut Skinner tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant; operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi operant conditioning, atau operant learning, itu melibatkan pengendalian konsekuensi (consequences). Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku ini terletak diantara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi).
Dengan demikian tingkah laku itu dapat diubah dengan cara mengubah antecendent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain di waktu yang akan datang.
Konsekuensi yang timbul dari tingkah laku tertentu dapat menyenangkan atau pun tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Ada dua hal yang perlu disinggung sehubungan dengan pengendalian konsekuensi ini, yaitu reinforcement dan hukuman.
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a)                  Law Operant Conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b)                  Law Operant Extinction yaitu jika timbulnya perilaku Operant telah diperkuat melalui proses Conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber ( Muhidin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam Operant Conditoning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh Reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan  kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam Clasical Conditioning.

C.     HUKUM PENGARUH MENURUT ADWARD LEE THORNDIKE

1.      Pandangan adward lee thorndike terhadap teori belajar.

Menurut thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang di sebut stimulus (S) dengan respon ( R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk berakasi atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang di munculkan karena adanya perangsang. Eksperimen thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

Bentuk paling dasar dari belajar adalah (trial and error learning atau  selecting and connecting learning) dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.

2.      Teori belajar adward lee thorndike
Psikologi aliran behaviristik mulai mengalami perkembangan dengan lahirnya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh adward lee thorndike dll. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error:
1.      Ada motif pendorong aktiivitas
2.      Ada berbagai respon terhadap situasi
3.      Ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4.      Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penilitiannya itu

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing yang menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : Law Of Effect, artinya bahwa jika sebuah respon  menghasilkan sebuah efek yang memuaskan, maka hubungan stimulus – respon akan semakin kuat. Sebaliknya tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara stimulus-respons.

3.      Hukum-hukum primer, ditemukan sekitar tahun 1930-an yang terdiri dari:
1.      The Law Of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi (connection) cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Menurut Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada hukum kesiapan ini, diantaranya:
a.       jika ada kecenderungan untuk bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
b.      jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi ia tidak mau melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c.       jika belum ada kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka hal inipun akan menimbulkan . Akibatnya, ia juga akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.      The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal:
a.       The Law of Use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.
b.      The Law of Disue: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan hubungan tersebut.
3.      The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. (Suryobroto, 1984).

4.      Hukum-hukum sekunder, terdiri dari :
a.       law of multiple response”, artinya: bermacam-macam usaha coba-coba dalam menghadapi situasi yang kompleks (problematic) maka salah satu dari percobaan itu akan berhasil juga. Maka, hukum ini disebut “trial and error”.
b.      law of assimilation artinya: orang dapat menyeseuaikan diri pada situasi baru, asas situasi tersebut ada unsure-unsur yang bersamaan.
c.       law of partial activity, artinya : seorang dapat bereaksi secara selekstif terhadap kemungkinan yang ada dan pada situasi tertentu.





sumber:
Purwanto, M. Ngalim 2002. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya
Taufik. 2014. Psikologi pendidikan dan bimpesdik. Serang: PGSD Press
Yudha wati, ratna dan hariyanto, dani. 2011 teori-teori dasar psikologi pendidikan. Jakarta: PT.Prestasi Pustaka Raya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon Filsafat

Discussion text

Ciri Berpikir filosofis dan Gaya Berfilsafat